Guncangan Finansial yang Tiba-Tiba di Usia Paruh Baya Dapat Tingkatkan Risiko Demensia

Stres karena kehilangan banyak uang tampaknya mempercepat penurunan kognitif.

Pxfuel
Guncangan finansial yang tiba-tiba di usia paruh baya, seperti kehilangan pekerjaan atau sebagian besar tabungan, dapat meningkatkan risiko menderita demensia.
Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani  Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guncangan finansial yang tiba-tiba di usia paruh baya, seperti kehilangan pekerjaan atau sebagian besar tabungan, dapat meningkatkan risiko menderita demensia. Stres karena kehilangan banyak uang tampaknya mempercepat penurunan kognitif, setidaknya pada orang berusia 50 hingga 65 tahun.

Baca Juga


Dilansir Daily Mail, Jumat (29/12/2023), sebuah penelitian terhadap 8.000 orang mengamati mereka yang kehilangan setidaknya 75 persen dari total kekayaan mereka selama dua tahun. Dibandingkan dengan orang-orang yang situasi keuangannya stabil, mereka yang mengalami guncangan keuangan memiliki kemungkinan 27 persen lebih besar terkena demensia.

Penelitian ini mengikuti orang-orang yang berusia di atas 50 tahun di Amerika Serikat (AS) selama rata-rata 14 tahun untuk mengetahui apakah mereka menderita demensia.

Hubungan antara guncangan finansial yang tiba-tiba dan penurunan kognitif serta demensia hanya terlihat pada orang yang berusia hingga 65 tahun dan tidak pada mereka yang lebih tua. 

Para penulis penelitian, yang dipimpin oleh Zhejiang University School of Medicine di Cina, menunjukkan bahwa orang yang berusia di atas 65 tahun dapat mengatasi peristiwa-peristiwa  kehidupan yang penuh tekanan dengan lebih baik. 

Dr Jing Guo, penulis senior studi dari Zhejiang University School of Medicine di Cina mengatakan tekanan akibat guncangan finansial yang tiba-tiba dapat berdampak pada kesehatan, namun menambahkan: “Guncangan kekayaan negatif didefinisikan sebagai hilangnya kekayaan secara tiba-tiba, yang disebabkan oleh cepatnya habis aset dan akumulasi utang-utang baru, menyiratkan penurunan konsumsi barang dan jasa yang meningkatkan kesehatan.” 

Dr Jing Guo menuturkan setelah mengalami guncangan kekayaan negatif, orang mungkin harus menghentikan kebiasaan makan makanan sehat karena terbatasnya kekayaan, mengurangi tingkat latihan fisik karena emosi yang tertekan, serta lebih sedikit aktivitas sosial karena terbatasnya waktu rekreasi. 

“Semua elemen yang disebutkan di atas bersifat preventif untuk demensia,” ujarnya. 

Malapetaka finansial yang tiba-tiba....

 

 

 

 

Malapetaka finansial yang tiba-tiba sebelumnya diketahui dapat meningkatkan tekanan darah dan meningkatkan peradangan di tubuh, yang dapat membahayakan otak dan mempercepat hilangnya ingatan di kemudian hari. 

Selain itu, kehilangan uang juga meningkatkan risiko depresi, yang berhubungan dengan demensia. Penelitian yang dipublikasikan di jurnal JAMA Network Open ini melibatkan 2.185 orang yang pernah mengalami guncangan finansial. 

Ini berarti kehilangan setidaknya tiga perempat kekayaan pribadi mereka, termasuk tabungan, saham, aset seperti rumah dan bisnis, dan juga utang seperti pinjaman dan utang kartu kredit. Orang-orang yang mengalami guncangan finansial dibandingkan dengan orang-orang yang keuangannya pada awalnya positif dan secara umum tetap stabil. 

Mereka yang terkena dampak perubahan finansial menunjukkan penurunan yang lebih cepat ketika diberikan tes-tes rutin terhadap kemampuan-kemampuan berpikir mereka, yang mencakup mengingat daftar item setelah penundaan, menghitung mundur, dan aritmatika mental. 

Mereka juga lebih mungkin terkena demensia, yang dinilai berdasarkan tes dan penilaian telepon yang terperinci di mana seorang ahli medis menilai penurunan kognitif seseorang dan mengajukan pertanyaan tentang masalah dalam aktivitas sehari-hari seperti berbelanja, memasak, dan minum obat. 

Ketika para peneliti mengamati kelompok usia di atas 50 tahun dalam kelompok-kelompok usia yang berbeda, mereka menemukan bahwa hubungan antara guncangan finansial dan demensia hanya terlihat pada orang di bawah usia 65 tahun, yang risiko demensianya 38 persen lebih tinggi setelah terjadi krisis ekonomi.

 

Hal ini mungkin terjadi karena orang lanjut usia biasanya memiliki lebih banyak emosi positif dan lebih sedikit emosi negatif, sehingga dapat mengatasi gejolak hidup dengan lebih baik. Tetapi temuan ini mungkin tidak akurat, karena penelitian ini hanya melibatkan sejumlah kecil orang berusia di atas 65 tahun, sehingga mungkin hasilnya tidak sesuai.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler