Kala Niat Israel Usir Warga Palestina dari Gaza tak Direstui Washington

AS konsisten dan tegas menyatakan Gaza akan tetap menjadi tanah Palestina.

AP Photo/Fatima Shbair
Warga Palestina yang mengungsi akibat pemboman Israel di Jalur Gaza duduk di tenda darurat di daerah Muwasi pada Ahad (31/12/2023).
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, Menteri Keuangan sayap kanan Israel Bezalel Smotrich, pada Ahad (31/12/2023), menyerukan untuk mendorong "emigrasi sukarela" warga Palestina yang ada di Jalur Gaza. Pernyataan bernada mirip pembersihan etnis Pelestina dari Gaza juga disampaikan Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben Gvir.

Baca Juga


"Kita perlu mendorong imigrasi dari sana. Jika hanya ada 100.000-200.000 orang Arab di Jalur Gaza dan bukan dua juta orang, keseluruhan pembicaraan tentang hari setelah perang akan sangat berbeda," kata Smotrich kepada Radio Tentara Israel.

"Mereka ingin pergi. Mereka telah tinggal di ghetto selama 75 tahun dan membutuhkan bantuan," tambah Smotrich, pemimpin partai zionisme keagamaan sayap kanan.

Namun, Amerika Serikat (AS) yang adalah sekutu utama Israel, justru menolak pernyataan 'tidak bertanggung jawab' yang disampaikan Smotrich dan Ben Gvir. "AS menolak pernyataan Menteri Israel Bezalel Smotrich dan Itamar Ben Gvir yang menganjurkan pemindahan warga Palestina ke luar Gaza," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Matthew Miller pada Selasa (2/1/2024).

"Retorika ini menghasut dan tidak bertanggung jawab," kata Miller, menambahkan.

Lewat akun X-nya secara terpisah, Miller mengatakan bahwa, "Seharusnya tidak ada pemindahan massal rakyat Palestina dari Gaza."

Menurut Miller,  AS telah memberitahu pemerintah Israel, termasuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, bahwa pernyataan semacam itu tak  mencerminkan kebijakan pemerintah Israel. Miller pun meminta kedua pejabat itu segera berhenti memberi pesan semacam itu.

"Kami dengan terang benderang, konsisten dan tegas menyatakan Gaza adalah tanah Palestina dan akan tetap menjadi tanah Palestina," kata Miller.

Tapi dia menyatakan Hamas tidak boleh lagi berkuasa di Palestina dan Palestina harus berdiri tanpa ada kelompok teror yang mengancam Israel. “Itulah masa depan yang kami cari, demi kepentingan Israel dan Palestina, kawasan sekitarnya, dan dunia.”

Pasukan Elite Israel Terpukul - (Republika)

 

Israel telah melancarkan serangan udara dan darat tanpa henti di Jalur Gaza sejak Hamas menyerangnya pada 7 Oktober 2023. Sedikitnya 22.185 warga Palestina terbunuh dan 57.035 lainnya terluka, sementara hampir 1.200 warga Israel diyakini tewas diserang Hamas.

Serangan gencar Israel itu telah menghancurkan  Gaza, dengan 60 persen infrastruktur di wilayah ini rusak atau hancur, dan hampir 2 juta penduduk mengungsi sambil kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan.

Badan Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) mengungkapkan bahwa lebih dari 1,7 juta warga Palestina dari Jalur Gaza utara dan tengah telah mengungsi. Saat rezim Zionis Israel menggencarkan pemboman di Gaza utara dan tengah, warga Palestina mengungsi di pengungsian dan fasilitas umum yang penuh sesak di wilayah selatan.

Menurut UNRWA, sedikitnya 300 pengungsi Palestina terbunuh dalam serangan Israel terhadap fasilitas-fasilitas tersebut. Organisasi kemanusiaan internasional telah mengeluarkan peringatan tentang penyebaran penyakit menular di kamp-kamp penuh sesak.



Kelompok Hamas pada Senin (1/1/2024) menyebut pernyataan sejumlah pemimpin Israel tentang pengusiran warga Palestina dari Gaza hanya "angan-angan yang tidak bisa diwujudkan". Mereka mengatakan, dalam sebuah pernyataan bahwa rencana tersebut tidak akan pernah terwujud mengingat "ketabahan dan perlawanan berani rakyat Palestina."

Pernyataan Hamas itu untuk menanggapi komentar dari beberapa pejabat Israel garis keras, termasuk Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, yang menyerukan "evakuasi sukarela" warga Palestina dari Gaza dan mendesak berbagai negara untuk menerima warga Palestina dari Gaza.

Pernyataan Hamas tersebut mendesak "masyarakat internasional dan PBB untuk mengaktifkan hukum internasional dalam menghadapi sikap fasis Israel, yang tidak lain adalah kejahatan perang."

Berbicara terpisah, Dubes Palestina untuk Inggris, pada Senin, menyatakan kemarahannya atas laporan bahwa Israel bermaksud menggunakan mantan perdana menteri Inggris Tony Blair untuk membujuk negara-negara Barat agar mereka menerima pengungsi dari Jalur Gaza setelah perang.

"Media Israel melaporkan bahwa mantan PM Inggris Tony Blair mengunjungi Israel pekan lalu, bertemu dengan beberapa pejabat Israel termasuk (PM Israel Benjamin) Netanyahu dan mengambil peran membantu Israel melaksanakan pengusiran massal dan pembersihan etnis warga Palestina dari tanah air mereka berkedok 'migrasi sukarela,'" kata Dubes Palestina Husam Zomlot di platform X.

"Kami menyerukan kepada pemerintah Inggris untuk memastikan bahwa tidak ada tokoh Inggris yang akan mengambil bagian dalam kejahatan terhadap kemanusiaan yang sedang dilakukan Israel. Kami bersikeras bahwa siapa pun yang melakukan hal tersebut harus menanggung konsekuensi hukum atas tindakan tidak bermoral dan kriminal terhadap rakyat Palestina," lanjutnya.

Channel 12 Israel sebelumnya mengklaim, bahwa Blair melakukan kunjungan rahasia ke Israel pekan lalu. Blair diberitakan mengadakan pertemuan rahasia dengan Netanyahu dan anggota kabinet perang Benny Gantz untuk membahas masalah itu.

Namun, sumber yang dekat dengan Blair membantah laporan tersebut, dan mengatakan pada The Jerusalem Post bahwa klaim Blair terkait pengungsian warga Palestina tidak berdasar. Sumber tersebut menekankan bahwa diskusi seperti itu tidak pernah terjadi dan Blair tidak akan pernah menerima usulan tersebut.

Dewan Keamanan PBB menggelar rapat darurat membahas resolusi gencatan senjata di Jalur Gaza pada Jumat (8/12/2023). - (Tim infografis republika.co.id)

sumber : Antara, IRNA-OANA, Anadolu
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler