Pemerintah Beri Santunan kepada 312 Korban Gagal Ginjal Akut
Bantuan sebesar Rp 50 juta untuk korban anak meninggal dunia.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah memberikan santunan kepada keluarga 312 anak korban gangguan ginjal akut progresif atipikal atau GGAPA. Nominal santunan dan bantuan itu terdiri dari Rp 50 juta untuk korban anak GGAPA meninggal dunia dan Rp 60 juta bagi korban anak GGAPA yang masih hidup.
“Kita menyerahkan santunan untuk menerita gagal ginjal akut pada anak. Untuk hari ini dikhususkan untuk wilayah DKI Jakarta dan nilai santunannya Rp 50 juta. Untuk korban yang hidup itu mendapatkan santunan tambahan Rp 10 juta (total Rp 60 juta),” kata Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (10/1/2024).
Muhadjir menegaskan, santunan yang diberikan tersebut bersifat murni bentuk perhatian, kepedulian, dan empati dari pemerintah atas kejadian GGAPA. Untuk proses hukum, kata dia, masih akan terus berlanjut sebagai mestinya. Dia tak ingin publik beranggapan pemberian santunan ini merupakan upaya pemerintah untuk menghindari atau menutup kasus yang tengah berjalan.
“Jadi jangan sampai ada pemahaman bahwa ini upaya kita untuk menghindari atau untuk menutup kasus ini supaya tidak lagi berproses, tidak ya. Jadi ini jangan sampai dipahami itu,” kata dia.
Setelah santunan diberikan, Muhadjir menyatakan, kini menjadi tugas Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin untuk mengobati korban anak yang masih hidup. Muhadjir ingin agar korban anak yang masih hidup mendapatkan pelayanan sebaik-baiknya dari pemerintah ketika melakukan pengobatan.
“Ini tugas berat Pak Menkes untuk memastikan bahwa para korban hidup akan mendapatkan pelayanan sebaik-baiknya,” ucap Muhadjir.
Menanggapi itu Budi menyampaikan, korban anak GGAPA total mencapai 326 anak. Dari angka tersebut, korban meninggal dunia ada sebanyak 218 anak dan korban yang masih hidup berjumlah 94 orang. Korban anak yang masih hidup ini ada yang sembuh dan ada juga yang rawat jalan. Sebab itu, dia menyatakan, ada dua bantuan kesehatan bagi mereka.
“Bantuan yang pertama adalah bantuan jaminan kesehatan. Jadi BPJS-nya ditanggung oleh pemerintah preminya untuk mereka bisa berobat terus untuk yang selamat di rumah sakit secara gratis. Yang kedua adalah bantuan transportasi kesehatan Jadi kalau mereka tinggalnya agak jauh dari fasilitas kesehatan, dibantu juga oleh pemerintah transportasinya,” tegas Budi.
Budi berharap, dengan adanya bantuan yang diberikan oleh pemerintah itu dapat lebih meringankan hidup para korban dan keluarga. Menurut Budi, bagi pemerintah, satu orang anak saja yang menjadi korban meninggal dunia sudah terlampau banyak. Sebab itu, dia tak ingin ada korban-korban meninggal dunia lainnya.
“Buat pemerintah satu aja ada anak-anak kita yang wafat itu kan generasi muda yang akan membawa Indonesia ke depan. Jadi buat kami titip ke teman-teman kesehatan satu anak meninggal itu sudah terlalu banyak. Kalau bisa jangan sampai ada anak-anak yang meninggal,” jelas Budi.
Pemberian santunan diberikan secara simbolis kepada para korban di Gedung Kemenko PMK, Jakarta Pusat, Rabu (10/1/2024). Jumlah total keseluruhan uang santunan yang diberikan kepada para korban anak GGAPA bernilai Rp 16,54 miliar. Pemberian secara simbolis ini disebut menandakan pemberian santunan kepada korban anak GGAPA di seluruh wilayah Indonesia.
Langkah pemberian santunan ini didukung oleh Kementerian Sosial (Kemensos) yang telah menerbitkan Keputusan Mensos RI Nomor 185/HUK/2023 tentang Pemberian Santunan kepada Korban GGAPA. Nominal Rp 10 juta tambahan itu diberikan untuk biaya transportasi proses pengpobatan atau rehabilitasi medis bagi para korban.
Plt Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Rizka Andalusia menyatakan pihaknya sudah melakukan perbaikan-perbaikan yang diperlukan terhadap regulasi terkait obat yang diperlukan. Sebab itu, pihaknya menghimbau kepada seluruh industri untuk patuh terhadap ketentuan yang berlaku. Menurut dia, ada ketidakpatuhan dari industri untuk memenuhi standar persyaratan yang ada.
“Karena berdasarkan pengawasan itu memang ada ketidakpatuhan dari industri untuk memenuhi standar-standar persyaratan. Jadi kita sudah melakukan berbagai risk mitigation dan itu akan menjadi perbaikan ke depannya,” jelas Rizka.