100 Hari Perang Gaza: Konflik Kian Menyebar ke Seluruh Kawasan
Kelompok milisi Hizbullah di Lebanon mulai menggelar serangan ke Israel.
REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Perang Israel di Gaza memasuki hari ke-100 pada Ahad (14/1/2024). Perang ini tidak hanya menghancurkan seluruh pemukiman Palestina itu tapi juga mengguncang seluruh kawasan Timur Tengah. Ancaman eskalasi mendorong Amerika Serikat (AS) menggalang aliansi untuk menghadapi kelompok-kelompok yang didukung Iran di kawasan.
Setelah serangan mendadak Hamas, kelompok milisi Hizbullah di Lebanon mulai menggelar serangan ke Israel, memicu serangan balasan. Baku tembak antara Israel dan Hizbullah belum memicu perang skala besar.
Namun mendekatinya, terakhir pada 2 Januari lalu serangan udara Israel membunuh petinggi Hamas di Beirut. Hizbullah meresponnya dengan serangkaian serangan ke pangkalan-pangkalan militer Israel, sementara Israel membunuh beberapa komandan Hizbullah dengan serangan udara.
Di saat yang sama Houthi di Yaman yang juga didukung Iran menggelar serangan ke kapal-kapal komersial di Laut Merah. Sementara milisi-milisi yang didukung Iran menyerang pasukan AS di Irak dan Suriah. AS mengirim kapal perang ke Laut Tengah dan Laut Merah untuk menahan kekerasan.
Pada Kamis (11/1/2024) malam militer AS dan Inggris membom lusinan target Houthi di Yaman. Kelompok itu berjanji membalasnya, meningkatkan kemungkinan konflik meluas ke seluruh kawasan.
Sementara itu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bersikeras mengabaikan tujuan Palestina. Ia menolak berbagai inisiatif damain, mencela Otoritas Palestina sebagai lembaga yang lemah atau tidak relevan dan mempromosikan kebijakan yang memisahkan rakyat Palestina di Gaza dan Tepi Barat.
Di saat yang sama ia mencoba menormalisasikan hubungan dengan negara Arab dengan harapan dalam mengisolasi rakyat Palestina dan menekan mereka menerima kesepatakan yang akan memupus cita-cita kemerdekaan. Tepat sebalum serangan 7 Oktober, Netanyahu mendorong upaya memperbaiki hubungan dengan Arab Saudi.
Serangan Hamas dan lonjakan kekerasan pemukim Yahudi di Tepi Barat membawa kembali konflik Israel-Palestina menjadi pusat perhatian. Perang ini menjadi berita utama media berbagai belahan dunia, mendorong Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken berkunjung ke kawasan empat kali dan kasus genosida yang diajukan Afrika Selatan terhadap Israel ke Mahkamah Internasional (ICJ).
Arab Saudi bersedia memiliki hubungan dengan Israel dengan syarat pendirian negara Palestina yang merdeka.
"Perkembangan menyakitkan selama 100 hari membuktikan tanpa keraguan tujuan Palestina dan rakyat Palestina tidak bisa diabaikan," kata juru bicara Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Nabil Abu Rudeineh.
Keinginan Israel singkirkan Hamas dari Gaza ...
Perang berlanjut dan korban jiwa terus bertambah tanpa ada prospek kapan perang akan berakhir dan apa yang terjadi selanjutnya. Israel mengatakan Hamas tidak boleh terlibat di Gaza di masa depan. Hamas mengatakan hal itu hanya ilusi.
AS dan masyarakat internasional ingin memberikan Gaza ke Otoritas Palestina dan memajukan solusi dua-negara. Israel menolaknya. Israel ingin mempertahankan militernya di permukiman tersebut sementara AS tidak ingin Israel kembali menjajah Gaza.
Rekonstruksi akan memakan waktu bertahun-tahun. Tidak jelas siapa yang akan membiayainya atau bagaimana material yang dibutuhkan memasuki wilayah tersebut melalui penyeberangan yang terbatas. Dan dengan banyaknya rumah yang hancur, di manakah orang-orang akan tinggal selama proses yang panjang ini?
"Kehidupan kami 100 hari yang lalu sangat baik. Kami memiliki mobil dan rumah," kata Halima Abu Daqa, seorang wanita Palestina yang mengungsi dari rumahnya di Gaza selatan dan sekarang tinggal di sebuah kamp tenda.
"Kami telah kehilangan segalanya, semuanya telah berubah dan tidak ada yang tersisa," tambahnya.