Rekor Panas Bumi 2023 Buat Para Ilmuwan Khawatir, Mengapa?

Beberapa lembaga sains dunia menyebut rekor panas global di 2023 menakutkan.

www.freepik.com
Sebagian besar ilmuwan mengatakan bahwa mereka khawatir akan percepatan perubahan iklim yang sudah berada di ambang batas kenaikan 1,5 derajat Celcius sejak masa pra-industri.
Rep: Gumanti Awaliyah Red: Nora Azizah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhitungan terbaru dari beberapa lembaga sains yang menunjukkan bahwa Bumi telah mencatatkan rekor panas global tahun 2023 mungkin menakutkan. Namun, banyak para ilmuwan merasa khawatir bahwa apa yang terjadi di balik angka-angka tersebut bisa jadi lebih buruk.

Baca Juga


Sebagian besar ilmuwan mengatakan bahwa mereka khawatir akan percepatan perubahan iklim yang sudah berada di ambang batas kenaikan 1,5 derajat Celcius sejak masa pra-industri. Ilmuwan iklim dari University of Arizona, Katharine Jacobs, mengungkapkan bahwa pemanasan udara dan air membuat gelombang panas yang mematikan dan merugikan, begitupun banjir, kekeringan, badai, dan kebakaran hutan menjadi lebih intens dan lebih mungkin terjadi.

"Suhu panas selama tahun lalu merupakan pesan dramatis dari Ibu Pertiwi. Tahun lalu adalah tahun yang luar biasa," ujar Jacobs seperti dilansir AP, Selasa (16/1/2024).

Suhu global rata-rata tahun 2023 memecahkan rekor sebelumnya dengan selisih lebih dari seperempat derajat (0,15 derajat Celcius). Ini merupakan selisih yang besar, menurut perhitungan dua lembaga sains terkemuka Amerika dan layanan meteorologi Inggris (Met Office).

Beberapa ilmuwan yang membuat perhitungan tersebut mengatakan bahwa iklim berperilaku unik pada tahun 2023. Mereka juga mempertanyakan apakah perubahan iklim yang disebabkan manusia, El Nino yang alamiah, ditambah dengan kejadian-kejadian aneh pada 2023 merupakan pertanda adanya sesuatu yang lebih sistematis yang sedang terjadi.

Jawaban parsial mungkin baru muncul pada akhir musim semi atau awal musim panas. Pada saat itu, El Nino yang kuat - siklus pemanasan perairan Samudra Pasifik yang memengaruhi pola cuaca global - diperkirakan akan menghilang. “Jika suhu lautan, termasuk perairan dalam, terus mencatat rekor hingga musim panas, seperti pada tahun 2023, hal tersebut merupakan petunjuk yang tidak menyenangkan,” kata para ilmuwan.

Para ilmuwan juga menyalahkan gas rumah kaca dari pembakaran bahan bakar fosil sebagai penyebab terbesar dunia mencapai suhu yang mungkin belum pernah terjadi dalam peradaban manusia. Sementara itu, El Nino menjadi faktor terbesar kedua yang memengaruhi suhu panas di bumi.

“Masalahnya dengan tahun 2023 adalah itu adalah tahun yang sangat aneh. Semakin Anda menggalinya, semakin tidak jelas,” kata Ilmuwan iklim NASA Gavin Schmidt.

Menurut Schmidt, salah satu hal yang tidak jelas itu adalah ketika ledakan panas besar pada tahun 2023. Kenaikan suhu pada tahun 2023 mencapai 1,48 derajat Celcius di atas masa pra-industri, menurut perhitungan Copernicus Climate Service di Eropa.

Suhu biasanya paling tinggi di atas normal pada akhir musim dingin dan musim semi, kata mereka. Namun, suhu panas tertinggi pada tahun 2023 terjadi pada sekitar bulan Juni dan bertahan pada tingkat rekor selama berbulan-bulan.

Mantan ilmuwan iklim NASA, James Hansen, juga menilai bahwa pemanasan yang terjadi pada tahun lalu terjadi semakin cepat. Meskipun tak sedikit ilmuwan yang bersikeras bahwa bukti-bukti yang ada sejauh ini, mendukung peningkatan yang stabil dan telah lama diprediksi.

"Ada beberapa bukti bahwa laju pemanasan selama satu dekade terakhir ini sedikit lebih cepat daripada satu dekade sebelumnya, yang memenuhi definisi matematis percepatan. Namun, hal ini juga sebagian besar sejalan dengan prediksi bahwa pemanasan akan semakin cepat pada titik tertentu, terutama ketika polusi partikel di udara berkurang,” ujar ilmuwan iklim UCLA, Daniel Swain.

Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional AS (National Oceanic and Atmospheric Administration) menghitung bahwa pada tahun 2023, Bumi memiliki suhu rata-rata 15,08 derajat Celcius. Suhu tersebut lebih hangat 0,15 derajat Celcius dari rekor sebelumnya yang ditetapkan pada tahun 2016 dan 1,35 derajat Celcius lebih hangat dari suhu pra-industri.

"Ini hampir seperti kita keluar dari tangga (kenaikan suhu pemanasan global normal) ke rezim yang sedikit lebih panas," kata Russ Vose, kepala pemantauan global untuk Pusat Informasi Lingkungan Nasional NOAA. Ia mengatakan bahwa ia melihat adanya percepatan pemanasan.

NASA dan Met Office mencatat pemanasan sejak pertengahan abad ke-19 sedikit lebih tinggi, yaitu 1,39 derajat Celcius dan 1,46 derajat Celcius. Catatan dimulai sejak tahun 1850. Sementara itu, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mematok tahun 2023 pada 1,45 derajat Celcius lebih hangat dari suhu pra-industri

Banyak ilmuwan iklim melihat sedikit harapan untuk menghentikan pemanasan pada target 1,5 derajat yang diserukan dalam perjanjian Paris 2015 yang bertujuan untuk mencegah konsekuensi terburuk dari perubahan iklim.

"Saya tidak menganggap realistis bahwa kita dapat membatasi pemanasan (rata-rata selama beberapa tahun) hingga 1,5 derajat Celcius. Secara teknis mungkin dilakukan, namun secara politis tidak mungkin dilakukan,” kata ilmuwan Woodwell Climate Research Center, Jennifer Francis.

“Lambatnya aksi iklim dan disinformasi yang terus berlanjut yang menjadi katalisatornya tidak pernah disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan atau bahkan kurangnya solusi: hal ini selalu dan tetap disebabkan oleh kurangnya kemauan politik," ujar Katharine Hayhoe, kepala ilmuwan di The Nature Conservancy.

Baik NASA maupun NOAA mengatakan bahwa 10 tahun terakhir, dari tahun 2014 hingga 2023, merupakan 10 tahun terpanas yang pernah mereka ukur. Ini adalah ketiga kalinya dalam delapan tahun terakhir rekor panas global tercipta. Randall Cerveny, seorang ilmuwan dari Arizona State University yang membantu mengkoordinasikan pencatatan rekor untuk WMO, mengatakan bahwa kekhawatiran terbesarnya bukan karena rekor tersebut dipecahkan tahun lalu, tetapi karena rekor tersebut terus dipecahkan begitu sering.

"Kecepatan perubahan yang terus menerus inilah yang menurut saya paling mengkhawatirkan," kata Cerveny.

Sementara itu, ilmuwan iklim dari Brown University, Kim Cobb, mengaku sudah merasa khawatir sejak awal tahun 1990-an. “Saya lebih khawatir dari sebelumnya. Kekhawatiran saya semakin meningkat setiap tahun karena emisi global bergerak ke arah yang salah,” ungkap Cobb.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler