Permintaan Anies Agar Ahli Hukum Tata Negara Kaji Pernyataan Jokowi dan Opini Yusril
"Ini bukan persoalan benar atau salah. Tapi ini sesuai aturan hukum atau tidak."
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Dessy Suciati Saputri, Rizky Suryarandika, Nawir Arsyad Akbar
Calon Presiden Nomor Urut 1 Anies Rasyid Baswedan meminta para ahli hukum tata negara (HTN/TN) untuk memverifikasi dan mengkaji pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyatakan kepala negara boleh berkampanye serta memihak pada pemilihan umum (pemilu). Hal tersebut disampaikan mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut saat melakukan kampanye akbar di kawasan GOR Haji Agus Salim, Kota Padang, Sumatra Barat.
"Saya minta ahli hukum tata negara untuk memverifikasi apakah itu (pernyataan) sesuai dengan ketentuan hukum yang ada," kata Anies di Padang, Kamis (25/1/2024).
Menurut Anies, ketika seseorang disumpah untuk mengemban suatu jabatan, maka pada saat itu juga harus mengikuti aturan hukum yang berlaku. Sebab itu ketika presiden, menteri, gubernur dan walikota atau bupati menjabat, maka harus bertindak sesuai ketentuan hukum pula.
"Jadi, ketika kemarin Bapak Presiden menyampaikan, saya minta pakar hukum tata negara untuk memverifikasinya," kata dia.
Anies berpandangan, kajian atau verifikasi diperlukan untuk menghindari persepsi setuju atau tidak mengenai pernyataan Presiden Jokowi. "Ini bukan persoalan benar atau salah. Tapi ini sesuai aturan hukum atau tidak," ucapnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menegaskan, seorang Presiden juga diperbolehkan melakukan kampanye saat pemilu berlangsung. Selain itu, Jokowi menyebut seorang Presiden juga boleh memihak pasangan calon tertentu.
"Yang penting, presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh," kata Jokowi di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa (24/1/2024).
Selain merupakan pejabat publik, kata dia, Presiden juga merupakan pejabat politik. Kendati demikian, Jokowi menegaskan bahwa dalam berkampanye, Presiden tidak boleh menggunakan fasilitas negara.
"Kita ini kan pejabat publik sekaligus pejabat politik. Masak gini nggak boleh, berpolitik nggak boleh, Boleh. Menteri juga boleh," kata Jokowi.
Pada hari ini, pihak Istana menjelaskan pernyataan Presiden Jokowi yang menyampaikan seorang Presiden bisa berkampanye dan memihak di Pilpres 2024. Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana mengatakan, pernyataan Presiden untuk merespons pertanyaan awak media terkait menteri yang ikut menjadi tim sukses itu sudah banyak disalahartikan.
"Pernyataan Bapak Presiden di Halim, Rabu 24/01/2024, telah banyak disalahartikan. Apa yang disampaikan oleh Presiden dalam konteks menjawab pertanyaan media tentang menteri yang ikut tim sukses," kata Ari dalam keterangannya, Kamis (25/1/2024).
Karena itu, Jokowi menjelaskan terkait aturan dalam berdemokrasi bagi menteri maupun presiden. Sebagaimana diatur dalam Pasal 281, Undang-Undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu, bahwa kampanye pemilu boleh mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, dan juga Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
"Artinya, Presiden boleh berkampanye. Ini jelas ditegaskan dalam UU," ujarnya.
Kendati demikian, jika ingin berkampanye, Presiden tidak boleh menggunakan fasilitas dalam jabatannya. Namun hal ini dikecualikan dalam hal fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sesuai aturan yang berlaku.
"Dan kedua, menjalani cuti di luar tanggungan negara," lanjutnya.
Dengan diizinkannya Presiden untuk berkampanye, artinya Undang-Undang Pemilu juga menjamin hak Presiden untuk mempunyai preferensi politik pada partai atau pasangan calon tertentu sebagai peserta pemilu yang dikampanyekan, dengan tetap mengikuti aturan dalam UU. Menurut Ari, pernyataan Presiden tersebut bukan hal yang baru. Karena aturannya pun sudah diatur di UU Pemilu.
"Koridor aturan terkait hal ini sudah ada di UU Pemilu. Demikian pula dengan praktek politiknya juga bisa dicek dalam sejarah pemilu setelah reformasi," jelasnya.
Guru besar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menegaskan Undang-Undang Pemilu tidak melarang seorang presiden untuk ikut kampanye pemilihan presiden atau pemilihan legislatif. Beleid yang sama juga tak melarang kepala negara untuk mendukung pasangan calon presiden tertentu.
Yusril merujuk Pasal 280 Undang-Undang Pemilu secara spesifik menyebut di antara pejabat negara yang dilarang berkampanye adalah ketua dan para Hakim Agung, ketua dan hakim Mahkamah Konstitusi, ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam pasal itu, lanjut Yusril, tidak ada penyebutan presiden dan wakil presiden atau menteri di dalamnya.
Sementara, pasal 281 mensyaratkan pejabat negara yang ikut berkampanye dilarang untuk menggunakan fasilitas negara atau mereka harus cuti di luar tanggungan. Walau demikian, undang-undang tersebut tidak menghapuskan aturan soal pengamanan dan kesehatan terhadap presiden atau wakil presiden yang berkampanye.
"Bagaimana dengan pemihakan? Ya kalau Presiden dibolehkan kampanye, secara otomatis Presiden dibenarkan melakukan pemihakan kepada capres cawapres tertentu, atau parpol tertentu. Masak orang kampanye tidak memihak," kata Yusril dalam keterangannya pada Kamis (24/1/2024).
Yusril mengingatkan regulasi yang ada tidak menyatakan Presiden harus netral, tidak boleh berkampanye dan tidak boleh memihak. Yusril meyakini ini adalah konsekuensi dari sistem Presidensial.
"Sistem Presidensial yang kita anut tidak mengenal pemisahan antara Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, dan jabatan Presiden dan Wapres maksimal dua periode sebagaimana diatur oleh UUD 45," ujar Yusril.
Mantan Menkumham itu menyatakan jika presiden tidak boleh berpihak, maka seharusnya jabatan presiden dibatasi hanya untuk satu periode. Jika ada pihak yang ingin Presiden bersikap netral, Yusril mempersilakan pihak tersebut untuk mengusulkan perubahan konstitusi.
"Itu (agar presiden netral) memerlukan amandemen UUD 45. Begitu pula Undang-Undang Pemilu harus diubah, kalau Presiden dan wakil presiden tidak boleh berkampanye dan memihak. Aturan sekarang tidak seperti itu, maka Presiden Joko Widodo tidak salah jika dia mengatakan presiden boleh kampanye dan memihak," ujar Yusril.
Selain itu, Yusril mempertanyakan ihwal ungkapan tidak etis yang diarahkan kepada Presiden Jokowi jika berpihak pada salah satu kandidat Capres. Ia mengingatkan adanya perbedaan antara norma etik dengan code of conduct.
"Kalau etis dimaknai sebagai norma mendasar yang menuntun perilaku manusia yang kedudukan normanya berada di atas norma hukum, hal itu merupakan persoalan filsafat, yang harusnya dibahas ketika merumuskan Undang-Undang Pemilu," kata Yusril.
"Tetapi kalau etis dimaknai sebagai code of conduct dalam suatu profesi atau jabatan, maka normanya harus dirumuskan atas perintah undang-undang seperti kode etik advokat, kedokteran, hakim, pegawai negeri sipil dan seterusnya. Masalahnya, sampai sekarang code of conduct presiden dan wakil presiden (dilarang kampanye atau berpihak) itu belum ada," lanjut Yusril.
Ketua DPP Bidang Kehormatan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Komarudin Watubun mengingatkan netralitas Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024. Meskipun dalam Undang-Undang Pemilu, presiden yang memihak tidaklah dilarang.
Namun, ada etika dan moral yang harus dijaga Jokowi dalam menjalankan periode terakhirnya sebagai presiden. Sebab jika kepala negara terlihat jelas mendukung pasangan calon tertentu, akan timbul potensi nepotisme dan konflik kepentingan di dalamnya.
"Ini kan saya bicara soal etik dan moral bernegara ya. Etik itu di atas hukum, di atas pengaturan perundang-undangan, etik itu soal kepatutan, kepantasan," ujar Komarudin dihubungi wartawan, Rabu (24/1/2024).
Apalagi diketahui, putra sulung Jokowi, yakni Gibran Rakabuming Raka adalah calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Meskipun hingga kini, mantan wali kota Solo itu tak pernah menyatakan keberpihakannya kepada siapa.
"Kalau bapaknya Presiden aktif, mengkampanyekan anaknya menjadi presiden, itu baru pertama kali terjadi di dunia. Itu yang harus dihindari, ini soal etik moral berbangsa itu," ujar Komarudin.