Studi: Jejak Karbon Urban Farming 6 Kali Lebih Besar dari Pertanian Biasa 

Urban farming biasanya hanya beroperasi selama beberapa tahun atau satu dekade.

Republika/Wihdan Hidayat
Studi menyatakan jejak karbon urban farming enam kali lebih besar dari pertanian biasa. (ilustrasi)
Rep: Gumanti Awaliyah Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sayuran dan buah yang ditanam dengan metode urban farming memiliki jejak karbon enam kali lebih besar dari metode pertanian konvensional. Hal ini merujuk pada studi dari University of Michigan, setelah menganalisa 73 praktik pertanian biasa dan urban farming di lima negara.

Baca Juga


Diperkirakan 20-30 persen penduduk perkotaan di seluruh dunia terlibat dalam beberapa bentuk urban farming, sehingga temuan ini sangat relevan. Namun, penelitian ini juga menyoroti pengecualian yang menarik. Tanaman tertentu, seperti tomat yang dibudidayakan di lahan terbuka di perkotaan, memiliki intensitas karbon yang lebih rendah dibandingkan dengan tomat yang ditanam di rumah kaca konvensional.

Selain itu, kesenjangan emisi karbon antara pertanian konvensional dan pertanian perkotaan juga dilaporkan berkurang untuk tanaman yang biasanya diangkut melalui udara, seperti asparagus. Karenanya dalam hal ini, para peneliti juga melihat potensi urban farming untuk mengurangi dampak iklim.

"Pengecualian yang diungkapkan oleh penelitian kami menunjukkan bahwa praktisi urban farming dapat mengurangi dampak iklim dengan membudidayakan tanaman yang biasanya ditanam di rumah kaca atau diangkut melalui udara, selain melakukan perubahan dalam desain dan manajemen lokasi," kata Jason Hawes, mahasiswa doktoral di University of Michigan sekaligus penulis utama studi seperti dilansir Earth, Senin (29/1/2024).

Pendekatan ini tidak hanya bermanfaat bagi iklim, tetapi juga bagi masyarakat dan esensi dari kehidupan perkotaan yang berkelanjutan. Pertanian perkotaan atau urban farming bukan hanya tentang produksi pangan. Ini adalah praktik multifaset yang menawarkan segudang manfaat sosial, nutrisi, dan lingkungan lokal.

"Pertanian perkotaan menawarkan berbagai manfaat sosial, nutrisi, dan lingkungan berbasis tempat, yang membuatnya menjadi fitur menarik dari kota-kota berkelanjutan di masa depan. Penelitian ini menyoroti cara-cara untuk memastikan pertanian perkotaan memberikan manfaat bagi iklim, serta masyarakat dan tempat yang dilayaninya,” kata Hawes.

Penelitian ini dengan cermat membandingkan jejak karbon dari lokasi pertanian perkotaan berteknologi rendah dengan pertanian konvensional. Perbandingan ini melibatkan urban farming yang dikelola secara profesional untuk produksi pangan, kebun individu (petak-petak kecil yang dikelola oleh seorang tukang kebun), dan kebun kolektif (ruang komunal yang dikelola oleh kelompok).

Para peneliti menghitung emisi gas rumah kaca yang terkait dengan bahan dan aktivitas di setiap lokasi selama masa pakainya. Temuan mereka sangat jelas: pertanian perkotaan mengeluarkan rata-rata 0,42 kilogram setara karbon dioksida per porsi produk, sangat kontras dengan 0,07 kg CO2e per porsi dari metode konvensional.

"Dengan menilai input dan output aktual di lokasi pertanian perkotaan, kami dapat menentukan dampak perubahan iklim untuk setiap porsi produk," kata Benjamin Goldstein, asisten profesor di University of Michigan’s School for Environment and Sustainability dan salah satu penulis utama studi.

Lokasi pertanian perkotaan biasanya ditandai dengan tiga elemen utama: infrastruktur seperti raised bed, pasokan (seperti kompos, pupuk, dan bensin untuk mesin), serta air irigasi. Komponen-komponen ini merupakan tulang punggung dari setiap praktik urban farming, yang juga berkontribusi secara signifikan terhadap dampak karbon secara keseluruhan.

Peneliti menunjukkan umur operasional yang terbatas dari urban farming, seringkali hanya beberapa tahun atau satu dekade. Ini berarti bahwa gas rumah kaca yang dipancarkan untuk menghasilkan bahan-bahan ini tidak digunakan secara efektif.

"Urban farming biasanya hanya beroperasi selama beberapa tahun atau satu dekade, sehingga gas rumah kaca yang digunakan untuk memproduksi bahan-bahan tersebut tidak digunakan secara efektif. Di sisi lain, pertanian konvensional sangat efisien dan sulit untuk disaingi," kata Goldstein.

Ketidakefisienan ini sangat kontras dengan pertanian konvensional yang cenderung lebih efisien dan sulit untuk disaingi dalam hal jejak karbon. Dalam pertanian konvensional, praktik-praktik seperti penanaman tunggal, yang dibantu dengan pestisida dan pupuk, menghasilkan panen yang lebih besar dan, sebagai hasilnya, jejak karbon yang lebih kecil per unit produk jika dibandingkan dengan urban farming.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler