Museum Religi Bisa Menjadi Contoh Penerapan Fikih Moderat

Fikih moderat menjaga persatuan bangsa.

Republika/Umar Mukhtar
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menutup forum AICIS ke-23 Tahun 2024 di Semarang Jawa Tengah, Sabtu (3/2/2024) malam.
Rep: Umar Mukhtar Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Delegasi Malaysia dalam perhelatan Annual International Conference in Islamic Studies (AICIS) 2024 Prof. Rahimin Afandi bin Abdul Rahim dari University of Malaya, menjabarkan ihwal maqashid fikih wasathiyah yang berfokus pada model aplikatif untuk menyelesaikan masalah.

Baca Juga


Rahimin mengangkat pembahasan museum religi sebagai contoh penerapan fikih wasathiyah (fikih moderat) pada pleno ketiga AICIS 2024. Dia menyampaikan, asas pemilihan museum sebagai model aplikatif fikih moderat adalah Islam mengakui kepentingan ilmu kebudayaan dalam kehidupan.

"Faith museum (museum kepercayaan) perlu dihasilkan untuk menyelamatkan Islam dari tuduhan ekstremisme," jelas Rahimin di UIN Walisongo Semarang, Sabtu (3/2/2024).

Dia berpandangan, museum religi penting untuk memunculkan pemahaman bahwa Islam menjunjung tinggi perdamaian dan kemanusiaan. Sejak peristiwa 11 September 2001, Islamofobia berkembang sehingga Muslim dicap radikal sebagainya.

Namun di sisi lain, adanya museum yang menyuguhkan koleksi-koleksi Islam telah menampik cap tersebut. Hal ini sudah terjadi di negara-negara Barat. Rahimin mencontohkan British Museum di London Inggris, dan museum di Leiden Belanda, yang telah menggelar pameran haji. Di dalam pameran ini, yang ditampilkan bukan artefak-artefak terkait haji tetapi falsafah haji itu sendiri.

"Dengan ditonjolkannya seperti itu, pengunjung Barat menjadi paham bahwa Islam penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan dan agama yang rahmatan lil alamin," ujarnya.

Adapun pleno ketiga AICIS 2024 ini mengangkat tajuk Fikih dan Moderasi Beragama dalam Konteks Global, yang dipandu oleh Prof Eka Srimulyani PhD. Pleno dihadiri tiga pembicara, yaitu Prof Madya Dr Kamaluddin Nurdin Marjuni (Universiti Islam Sultan Sharif Ali, Brunei Darussalam), Prof Dr Kamaruzaman (UIN Ar-Raniry Aceh, Indonesia), dan Prof Rahimin.

Rahimin juga memuji forum AICIS. Dia mengatakan banyak mahasiswa pascasarjana di Malaysia menggunakan hasil proceeding (penelitian berkelanjutan) AICIS sebagai bahan belajar mereka. Ini menunjukkan luasnya jangkauan kebermanfaatan makalah hasil penelitian yang berpartisipasi dalam AICIS setiap tahun.

Sementara itu, Kamaruzzaman dari UIN Ar-Raniry Banda Aceh mengulas moderasi beragama pada dunia digital. Presiden Asian Muslim Action Network (AMAN) ini mengatakan dunia digital memengaruhi perubahan cara berpikir manusia di masa depan.

"Ada dua cara berpikir, pertama fast (cepat), intuitive (berdasarkan intuisi), dan emotional (bersifat emosional). Yang kedua orang yang slow (santai) dan sangat logis)," katanya.

Dalam penjabarannya, disebutkan bahwa orang yang berpikir dengan cara pertama cenderung kesulitan menerima konsep moderasi beragama dan akan menciptakan cara beragama yang agresif. Sementara orang dengan pola pikir kedua akan cenderung toleran dan bijaksana dalam menghadapi perbedaan.

Namun, era digital lambat laun menggiring orang-orang untuk meninggalkan cara berpikir kedua (logis dan bijaksana) dan beralih ke cara berpikir pertama (cepat, intuitif, dan emosional).

"Pada era digital masa depan, akan banyak perubahan kebiasaan yang terjadi dalam proses transfer ilmu agama karena pengaruh kemajuan teknologi," tuturnya.

Prof Madya Dr Kamaluddin menyampaikan paparan terkait maqashid aqidah, yang berfokus pada kajian teologis agama Islam. Dia menuturkan, maqashid aqidah berperan untuk menghadapi dinamika konflik yang telah menggiring kepada penyesatan dan pengkafiran terhadap golongan lain.

"Kajian maqashid aqidah Islam dapat memberikan pemahaman mendalam tentang esensi ajaran Islam yang mencintai perdamaian," terangnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler