Transisi Menuju Ekonomi Hijau yang Memicu Greenflation
Ekonomi hijau adalah opsi terbaik yang harus menjadi pilihan kita bersama.
Secara umum greenflation mengacu pada inflasi yang terkait dengan kebijakan publik dan swasta yang diimplementasikan sebagai bagian dari transisi hijau. Secara lebih spesifik, greenflation merujuk pada kenaikan harga dan juga krisis tenaga kerja yang terjadi karena adanya transisi menuju penggunaan energi yang lebih ramah lingkungan.
Pada gilirannya, ini dapat memicu kenaikan harga-harga. Pasalnya, sektor publik maupun sektor privat perlu mengeluarkan anggaran lebih demi melakukan transisi energi. Dan kenaikan harga-harga itu pada akhirnya bakal berimbas pula kepada masyarakat sebagai konsumen akhir.
Sejatinya, energi adalah kebutuhan kita semua. Semua aktivitas manusia membutuhkan konsumsi energi. Jujur saja, kita semua menyukai energi yang murah. Pemerintah, di mana pun, selalu dituntut untuk mampu menyediakan energi yang semurah mungkin, baik untuk konsumsi rumah tangga maupun untuk konsumsi perusahaan.
Selain menyediakan energi yang murah, pemerintah juga dituntut untuk mampu menyediakan energi yang bersih alias tidak mencemari lingkungan. Bagaimanapun, kita tidak boleh terus bergantung pada energi berbasis fosil yang tinggi karbon. Ekonomi kita perlu diupayakan untuk segera beralih ke ekonomi hijau, ekonomi yang lebih ramah lingkungan.
Ekonomi hijau adalah opsi terbaik yang harus menjadi pilihan kita bersama. Secara berangsur, kita perlu mulai meninggalkan ekonomi konvensional berbasis karbon yang sangat tidak ramah lingkungan dan beralih ke ekonomi yang lebih ramah lingkungan.
Dalam aktivitas ekonomi hijau, pertumbuhan lapangan kerja dan pendapatan didorong oleh investasi publik dan swasta ke dalam kegiatan ekonomi, infrastruktur, dan aset yang memungkinkan pengurangan emisi karbon, pengurangan polusi, serta peningkatan efisiensi energi dan sumber daya.
Maka, perlu pula adanya membuat terobosan-terobosan inovatif di bidang teknologi energi bersih dan terbarukan agar kita tidak terus-menerus bergantung kepada energi berbasis fosil.
Problemnya yaitu, proses peralihan menuju ekonomi hijau bisa mendorong naiknya harga-harga. Salah satunya karena perangkat teknologi yang menunjang ekonomi hijau umumnya masih tergolong mahal. Contohnya, biaya pengadaan listrik menggunakan pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan, seperti panel surya atau turbin angin, yang relatif masih lebih mahal dibandingkan dari sumber pembangkit listrik batu bara.
Singkatnya, proses transisi menuju ekonomi hijau dengan mengadaptasi metode produksi ke teknologi rendah karbon, yang menghasilkan lebih sedikit gas rumah kaca, akan membutuhkan investasi besar-besaran dan mahal yang akan meningkatkan biaya produksi.
Namun, hal tersebut tentu saja bersifat temporer. Seiring waktu, teknologi untuk menunjang ekonomi hijau bakal semakin murah. Artinya greenflation tidak bakal permanen. Kalaupun di awal-awal fase transisi menuju ekonomi hijau muncul greenflation, sudah barang tentu tugas pemerintah wajib mengatasinya. Salah satunya bisa dengan pemberian insentif pajak yang diberikan kepada sektor usaha maupun warga peseorangan yang telah mulai menggunakan energi yang lebih ramah lingkungan.