Makna dan Khasiat Sholat yang Sangat Mendasar Menurut Imam Ghazali
Imam Ghazali menyebutkan pemaksaan sholat yang utama
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali yang dikenal sebagai Imam Al Ghazali bergelar Hujjatul Islam Zainuddin al-Thusi, dijelaskan mengenai sholat.
Menurut Imam Al Ghazali, orang yang sedang sholat hakikatnya sedang bermunajat atau berkomunikasi dengan Allah SWT.
Dijelaskan dalam kitab Ihya Ulumuddin bahwa sesungguhnya makna kata sholat itu adalah dzikir, bacaan, munajat, dan dialog. Semua itu hanya bisa dilakukan dengan menghadirkan hati dalam pelaksanaannya.
Oleh karena itu, untuk lebih sempurna dalam pelaksanaan sholat, seorang hamba harus benar-benar memahami, mengagungkan Allah disertai menghadirkan rasa takut, serta berharap, dan memupuk rasa malu terhadap-Nya.
Dengan kata lain, semakin bertambah pengetahuan kita mengenai Allah, maka akan bertambah juga rasa takut kepada-Nya. Sehingga memunculkan sikap khusyu.
Orang yang sedang sholat itu pada hakikatnya sedang bermunajat (berkomunikasi) dengan Allah SWT sebagai Rabb-nya. Komunikasi intensif yang dilakukan dengan menghadirkan jiwa yang lengah, tidak bisa disebut sebagai munajat.
Imam Al Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan mendirikan sholat terdiri dari dzikir kepada Allah SWT, membaca Alquran, rukuk, sujud, berdiri, itidal, dan duduk.
Dzikir berarti berdoa, dan sekaligus bermunajat kepada-Nya. Tanpa itu, berdoa dan bermunajat hanya berhenti pada suara serta lisan yang bergerak semata.
Demikian juga halnya dengan tujuan puasa, untuk mengendalikan perut dan nafsu syahwat, atau tujuan lainnya mengurangi serta mengatur pola konsumsi pada makanan maupun minuman bagi asupan tubuh.
Juga, selama berhaji, badan diuji dan dilatih dengan keletihan maupun kesulitan. Begitu juga jiwa dicoba dengan beratnya mengeluarkan zakat melalui anggapan keliru pada sebagian besar orang atas berkurangnya harta setelah dikeluarkan zakatnya, yang umumnya harta sangat mereka cintai, meskipun anggapan semacam ini jelas-jelas keliru.
Tidak mungkin disangkal lagi bahwa tujuan dari seluruh amalan hamba adalah dzikir kepada Allah SWT, ingat kepada-Nya. Jika tujuan dzikir kepada Allah SWT tidak tercapai, maka menjadi sia-sialah sholat, karena sangatlah mudah menggerakkan lisan tanpa arti dan tujuan.
Tujuan menggerakkan lisan dalam sholat adalah untuk berkomunikasi dengan Allah SWT, dan semua itu tidak akan pernah terjadi, kecuali jika jiwa atau qalbu ikut dilibatkan dalam pelaksanaannya.
Munajat kepada Allah SWT tidak akan terwujud jika di dalam sanubari hamba yang mendirikan sholat justru kosong dari makna komunikasi. Permohonan apakah yang terkandung dalam ucapan, "Ihdinash Shirathal Mustaqim" (tunjukilah kami jalan yang lurus), kalau qalbu kita dalam keadaan lengah waktu mengucapkannya?
Jika hal itu tidak dimaksudkan...
Jika hal itu tidak dimaksudkan sebagai doa dan permohonan yang sungguh-sungguh. Maka di manakah letak kesulitan menggerakkan lisan dalam keadaan lengah seperti itu? Jawabannya, tidak ada. Inilah kedudukan dan keutamaan serta rahasia di balik dzikir kepada Allah SWT.
Tujuan dari membaca Alquran dan dzikir kepada Allah SWT dalam sholat adalah untuk memuji, menyanjung, dan merendahkan diri di hadapan-Nya semata.
Akan tetapi, jika qalbu kita lengah, tidak hadir saat itu, dan tidak mengetahui bahwa Allah SWT hadir (melihat dan memandang) di hadapan orang yang berbicara dengan-Nya, maka sudah seharusnya dipahami bahwa lidahnya bergerak hanya karena mengikuti kebiasaan semata, tanpa makna.
Jika sudah sedemikian kondisinya, maka hamba tersebut telah melangkah sangat jauh dari tujuan sholat yang disyariatkan untuk menghidupkan dan memperbarui zikir kepada Allah SWT, yang juga dengan itu diharapkan dapat mengokohkan ikatan keimanan hamba kepada Allah SWT dalam sanubarinya.
Dalam Islam, sholat lima waktu memiliki kedudukan istimewa, yang tidak dimiliki oleh ibadah-ibadah yang lain. Sholat lima waktu adalah tiang agama, dan agama bisa tegak karenanya.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan sahabat Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ “Islam adalah puncak segala sesuatu, dan sholat adalah tiangnya. Ujung tombaknya adalah jihad di jalan Allah.
Menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqh As-Sunnah, shalat merupakan ibadah pertama yang diwajibkan Allah SWT. Shalat juga merupakan ibadah pertama yang akan dihisab dari diri seorang manusia, dan shalat adalah wasiat terakhir Rasulullah SAW yang disampaikan kepada umatnya pada saat beliau akan meninggal dunia.
Allah SWT sangat membenci orang-orang yang menganggap remeh sholat dan mengancam orang yang meninggalkannya. Hal ini karena sholat merupakan persoalan agung yang memerlukan hidayah khusus, maka Nabi Ibrahim alaihissalam Memohon kepada Tuhan agar menjadikan dirinya dan keluarganya untuk senantiasa melaksanakan sholat.
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي ۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ
“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap melaksanakan sholat , ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.” (QS Ibrahim [14]: 40).