Megawati: Pilih Pemimpin yang Punya Etika dan Moral
Sekjen PDIP menyebut penyimpangan demokrasi terjadi di akhir kepemimpinan Jokowi.
REPUBLIKA.CO.ID, BANYUWANGI -- Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri menghadiri kampanye akbar Ganjar Pranowo-Mahfud MD di RTH Maron Genteng, Banyuwangi, Jawa Timur. Dalam orasinya di hadapan ribuan orang, ia mengingatkan masyarakat untuk memilih pemimpin yang memiliki etika dan moral.
"Harus (memilih pemimpin yang) pintar, punya etika dan moral, menyayangi seluruh rakyat Indonesia yang akan dia pimpin," ujar Megawati dalam orasinya di RTH Maron Genteng, Banyuwangi, Jawa Timur, Kamis (8/2/2024).
Di samping itu, ia meminta masyarakat untuk memilih pemimpin yang mumpuni dan memiliki rekam jejak yang baik. Sebab, jangan sampai Indonesia dipimpin oleh sosok yang bodoh dan tidak bisa membawa negara ini ke arah yang lebih baik.
"Kita ini disuruh berpemilu itu kenapa toh? Pemilihan umum itu sebenarnya hanya sebuah proses lima tahunan, untuk apa? Untuk mencari pemimpin yang mumpuni. Nah mumpuni itu opo? Kalau ada pemimpin yang bodoh mau dipilih apa tidak," ujar Megawati ditimpali teriakan tidak dari massa yang hadir.
Di samping itu, ia kembali menyinggung intimidasi dan tekanan yang diterima masyarakat jelang pencoblosan pada 14 Februari mendatang. Megawati menegaskan, rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi dalam Pemilu 2024.
Ia pun mengingatkan norma-norma yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Salah satu yang diatur terkait pejabat yang tidak boleh menggunakan fasilitas negara untuk berkampanye.
"Yang namanya pemimpin dari presiden, menteri, pejabat lain, lain, dan lainnya maka tidak boleh mempergunakan fasilitas yang namanya fasilitas negara," ujar Presiden ke-5 Republik Indonesia itu.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto mengungkapkan bahwa penyimpangan-penyimpangan terhadap demokrasi terus terjadi jelang pencoblosan pada Pemilu 2024. Distorsi tersebut bahkan terjadi di akhir kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Distorsi pertama terjadi saat etika dan hukum tak dijalankan dengan beriringan. Puncaknya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden.
Tegasnya, publik tentu tak bisa tutup mata dengan konflik kepentingan di dalam pencalonan tersebut. Apalagi ketua MK yang memutuskan adalah Anwar Usman, yang notabenenya adalah adik ipar dari Jokowi dan paman untuk Gibran.
"Menjadi persoalan etis ketika sedang menjabat, seseorang apalagi ketika menjadi panglima tertinggi, penguasa tertinggi, kemudian dengan cara-cara oleh keputusan MKMK dikatakan tidak etis, itu tetap dilanjutkan. Sehingga terjadi conflict of interest," ujar Hasto dalam diskusi di Habibie & Ainun Library, Jakarta, Rabu (7/2/2024).