Film 'Dirty Vote', Penguasa adalah Politisi

Seorang penguasa adalah seorang politisi yang tidak selalu identik sebagai negarawan.

Republika.co.id
Salah satu adegan dalam film dokumenter Dirty Vote yang tayang pada masa tenang pada Ahad (11/2/2024).
Red: Erik Purnama Putra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Film dokumenter 'Dirty Vote' yang tayang pada masa tenang Pilpres 2024 pada Ahad (11/2/2024), menuai polemik. Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia (JMI), Islah Bahrawi, merasa setelah nonton film dugaan kecurangan Pilpres 2024 tersebut, ia teringat pemikiran para tokoh seperti John Stuart Mill, Timothy Snyder, dan Abu al-A'la al-Ma'arri. 


"Inilah petuah mereka: seorang penguasa adalah seorang politisi, yang tidak selalu identik sebagai negarawan. Seorang politisi terus memikirkan kekuasaan, kemenangan, kekalahan dan balas dendam'," ujar Islah dikutip di Jakarta, Senin (12/2/2024).

Menurut Islah, seorang negarawan selalu meminta rakyatnya menjadi yang terbaik dan tidak memaksa rakyat untuk memujinya sebagai yang terbaik. Dua berpendapat, manusia pada dasarnya tidak pantas menguasai semua yang diinginkannya. 

Seorang penguasa pun hanya memiliki kekuasaan selama tidak mengambil segalanya dari orang lain. "Namun ketika penguasa telah merampas segalanya, maka orang lain seharusnya tidak wajib mengakui kekuasaannya," ucap Islah.

Dia menyebut, terlalu banyak penguasa jahat dan culas yang membajak jubah-jubah kesalehan. Sehingga pada akhirnya tersungkur dalam kebencian massal.

Sebelumnya, rumah produksi WatchDoc baru saja merilis film dokumenter terbaru berjudul Dirty Vote. Film yang disutradarai Dandhy Dwi Laksono itu berisi tentang kecurangan-kecurangan di Pemilu 2024.

Film itu menampilkan tiga orang ahli hukum tata negara, yaitu Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar. Film tersebut dapat diakses di akun YouTube Dirty Vote.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler