Genosida oleh Israel Berlanjut di Rafah
Rafah saat ini bisa dibilang menjadi pusat kamp pengungsian warga Gaza.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Lintar Satria, Kamran Dikrama, Antara, WAFA, Reuters
Sejak Senin (12/2/2024) lalu, Israel mulai menggempur Kota Rafah di Gaza selatan secara intensif. Atas instruksi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, serangan udara dan darat dilancarkan yang mengakibatkan tewasnya ratusan warga sipil, termasuk sebagian besar anak-anak dan perempuan, seperti dilaporkan pihak otoritas kesehatan setempat.
Bulan Sabit Merah Palestina (PRCS) mengungkapkan bahwa Rafah menyaksikan bombardir serangan udara Israel di pusat kota, menghantam rumah-rumah warga di dekat kantor pusat PRCS. Sementara itu, Direktur Rumah Sakit Kuwait di Kota Rafah, Suhaib Al-Hams, mengaku pihak rumah sakit kewalahan menangani pasien yang terluka parah dan kekurangan obat serta pasokan.
Menurut sumber setempat, pesawat tempur Israel meluncurkan sekitar 40 serangan udara dan menargetkan sejumlah rumah dan masjid yang menampung para pengungsi. Penembakan artileri yang intens dan pemboman lewat jalur laut juga terjadi di Rafah.
Masjid yang menjadi target pasukan Israel di antaranya Masjid Al-Rahma di Shaboura dan Al-Huda di kamp pengungsi Yibna, yang keduanya menampung ratusan keluarga pengungsi dan lebih dari 14 rumah berpenghuni. Serangan udara Israel juga meluas ke wilayah di dekat perbatasan dengan Mesir.
Diperkirakan sekitar 1,4 juta warga dan pengungsi saat ini berada di Rafah setelah pasukan pendudukan Israel memaksa ratusan ribu warga Palestina mengungsi dari Gaza utara ke selatan pada awal agresi. Adapun, jumlah korban meninggal yang terbunuh oleh militer Israel telah mencapai lebih dari 28 ribu jiwa.
Kelompok pejuang Hamas pada Senin mengatakan, bahwa serangan Israel di kota Rafah, Gaza selatan merupakan lanjutan tindakan "genosida dan pemindahan massal" oleh pasukan negara Zionis.
"Serangan itu menegaskan bahwa pemerintah Netanyahu mengabaikan keputusan Mahkamah Internasional, yang memerintahkan tindakan mendesak untuk menghentikan tindakan yang mengarah ke genosida," kata pemimpin Hamas Azat al-Rashq di Telegram.
Rashq mengatakan, pemerintah Joe Biden, bersama pemerintahan Benjamin Netanyahu, bertanggung jawab penuh atas pembantaian tersebut. Rashq meminta masyarakat internasional untuk segera menghentikan serangan dan kejahatan Israel terhadap warga sipil.
Tak lama setelah serangan Israel di Rafah, Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian mengingatkan Benjamin Netanyahu akan "konsekuensi buruk" serangan lebih lanjut di Rafah, Gaza selatan. "Memperluas cakupan kejahatan perang dan genosida rezim pendudukan Israel terhadap pengungsi Palestina di Rafah akan berdampak buruk bagi Tel Aviv,” ujar Abdollahian pada platform X.
Sementara, di Kairo, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi mendesak Israel menghentikan serangannya ke Rafah. Erdogan berkunjung ke Mesir saat hubungan Ankara dan Kairo kembali ke jalurnya setelah sempat menegang dan membeku selama bertahun-tahun. Erdogan tiba di Ibu Kota Mesir dalam kunjungan pertamanya ke Kairo dalam satu dekade pada Rabu (14/2/2024).
Sebelumnya ia berkunjung ke Uni Emirat Arab dan bertemu dengan Presiden Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nayhan. Media pemerintah Mesir mengatakan Erdogan bertemu El-Sisi di Istana Ittihadiyah.
Dalam pernyataan gabungan, El-Sisi mengatakan fokus pembicaraan mereka adalah hubungan bilateral dan tantangan kawasan. Terutama dalam upaya menghentikan perang di Gaza.
"Kami sepakat gencatan senjata (di Gaza) perlu segera dilakukan dan perlu ketenangan di Tepi Barat (untuk memulai kembali perundingan damai Israel-Palestina untuk mencapai tujuan akhir negara Palestina yang merdeka)," kata El-Sisi seperti dikutip dari Aljazirah.
Erdogan mengatakan Turki bertekad untuk meningkatkan pembicaraan dengan Mesir di semua tingkatan untuk mencapai perdamaian dan stabilitas di kawasan.
"Kami akan terus bekerja sama dan berdiri dalam solidaritas dengan saudara-saudara Mesir kami untuk mengakhiri pertumpahan darah di Gaza," katanya.
Menyusul seragan Israel ke Rafah, Afrika Selatan (Afsel) telah mengajukan permohonan kepada Mahkamah Internasional (ICJ) untuk mempertimbangkan perlunya tindakan darurat tambahan. Permohonan diajukan oleh Afsel pada Senin.
“Pemerintah Afsel mengatakan sangat prihatin bahwa serangan militer yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Rafah, seperti yang diumumkan negara Israel, telah menyebabkan dan akan mengakibatkan pembunuhan, kerusakan, dan kehancuran dalam skala besar,” kata Kantor Kepresidenan Afsel dalam sebuah pernyataan, Selasa (13/1/2024), dikutip Middle East Monitor.
“Ini merupakan pelanggaran serius dan tidak dapat diperbaiki baik terhadap Konvensi Genosida maupun Perintah Pengadilan tanggal 26 Januari,” tambah Kantor Kepresidenan Afsel.
ICJ menolak memberi keterangan tentang apakah mereka telah menerima permintaan Afsel. Pada 26 Januari 2024 lalu, panel hakim ICJ diketahui telah membacakan putusan pendahuluan kasus dugaan genosida Israel di Gaza. Afsel adalah pihak yang membawa kasus tersebut ke ICJ.
Dalam putusannya, ICJ menyatakan klaim Afsel selaku penggugat yang menyebut Israel melakukan genosida di Gaza dapat diterima. Namun, ICJ tak menerbitkan perintah gencatan senjata di Gaza seperti yang diharapkan banyak pihak.
ICJ hanya memerintahkan Israel mengambil semua tindakan sesuai kewenangannya untuk mencegah tindakan genosida di Gaza. ICJ pun mengakui hak warga Palestina untuk dilindungi dari tindakan genosida.
Putusan pendahuluan ICJ belum menentukan apakah Israel melakukan genosida seperti yang dituduhkan Afsel selaku penggugat. Namun Presiden ICJ, Hakim Joan Donahue, mengatakan dalam putusannya, pengadilan telah menyimpulkan bahwa “situasi bencana” di Gaza bisa menjadi lebih buruk pada saat ICJ menerbitkan putusan akhir.