Kampanye, Pemilu, dan Sampah
Gunungan sampah Alat Peraga Kampanye (APK) jadi masalah baru usai Pemilu 2024.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Baliho hingga spanduk Alat Peraga Kampanye (APK) Pemilu 2024 sudah diturunkan sejak masa kampanye berakhir. Namun, tidak sedikit masyarakat yang mungkin mempertanyakan, kemana perginya gunungan sampah ini?
Banyak baliho yang terpasang menggunakan bahan flexy, yakni polimer termoplastik. Dari namanya saja, tentunya baliho menjadi limbah plastik yang sulit didaur ulang.
APK juga banyak yang menggunakan spanduk atau bendera dari kain. Meski berbahan kain, nyatanya limbah ini juga sulit ditangani karena tidak mudah didaur ulang. Terlepas dari jenis bahan baku pembuat APK, hal yang menjadi pertanyaan besar justru tanggung jawab dalam penanganan limbah APK.
Terkait hal ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan edaran untuk kepala daerah memastikan pengelolaan sampah Alat Peraga Kampanye (APK) dari Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 agar tidak berakhir dengan mencemari lingkungan atau di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
KLHK sudah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Menteri LHK Nomor 3 tahun 2024 tentang Pengelolaan Sampah yang Timbul dari Penyelenggaraan Pemilihan Umum tahun 2024 yang diteken pada 31 Januari 2024. Dalam SE tersebut para gubernur, bupati, hingga walikota, harus memastikan bahwa APK yang dicopot, misalnya oleh tim sukses dari masing-masing caleg atau paslon (pasangan calon) capres cawapres, harus dikelola berkelanjutan, salah satunya diberikan ke bank sampah atau pusat daur ulang.
Berkaca dari Pemilu 2019, KLHK mengingatkan kepada Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mendata jumlah sampah yang ditimbulkan dari perhelatan Pemilu 2024, termasuk saat masa kampanye atau ketika hari pencoblosan, serta juga memastikan tidak ada yang berakhir di TPA. Pasalnya, hingga kini, tidak ada data pasti terkait sampah pemilu.
Tidak hanya sampah APK, limbah dari aktivitas Pemilu juga perlu menjadi perhatian. Sampah seperti kertas suara, papan informasi Pemilu, dan lain sebagainya tentunya akan menjadi timbunan limbah.
Sejumlah daerah mungkin sudah melakukan pengolahan sampah kampanye. Seperti yang dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat, sampah kampanye diolah melalui pintu Bank Sampah. Sampah dimaksimalkan pengolahannya sesuai jenis sehingga mengurangi beban TPA.
Sementara, Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor, Jawa Barat, mendaur ulang sampah alat peraga kampanye (APK) menjadi bahan konstruksi seperti paving block di Tempat Pengolahan Sampah Reuse, Reduce, dan Recycle (TPS3R) Mekarwangi, Kota Bogor. Pengolahan sampah APK ini sudah dikaji sejak bulan lalu.
Sampah APK akan disortir untuk dipindahkan ke pengolahan untuk dicacah menjadi biji atau serpihan plastik. Beberapa APK berbahan flexi seperti baliho atau banner, disobek terlebih dulu secara manual untuk memudahkan masuk dalam proses pencacahan.
Setelah dicacah, barulah APK dicampur dengan sampah plastik dan alumunium, yang juga sudah melalui proses pencacahan untuk selanjutnya masuk dalam mesin pencetakan bahan konstruksi jenis balok atau papan dan sebagainya. Bahan konstruksi ini, selanjutnya akan digunakan untuk membuat kerangka atau pondasi sumur resapan yang di tanam di dalam tanah, untuk membangun sumur resapan di Kota Bekasi.
Sampah-sampah ini sebenarnya bukanlah hal baru di Indonesia. Masalah sampah visual disetiap pelaksanaan Pemilu seharusnya sudah mendapat perhatian lebih. Karena, bukan kali ini saja Pemilu digelar.
Meski sebagian sampah APK masuk ke dapur pengolahan Bank Sampah, tentu tidak secara keseluruhan bisa 'dimusnahkan'. Pada akhirnya, sisa-sisa sampah dari APK akan berujung di TPS atau TPA dan menambah permasalahan limbah.
Greenpeace Indonesia secara tegas mengatakan bahwa sampah APK telah menambah permasalahan sampah di Indonesia. Cara konvensional dengan menggunakan bahan-bahan berujung limbah masih digunakan dalam pesta politik.
Meski sejumlah daerah menyebutkan sudah melakukan daur ulang sampah, pada kenyataannya, bahan baku pembuat APK sangat sulit didaur ulang. Pada akhirnya, sampah APK berujung menjadi masalah baru yang sulit diselesaikan. Praktik pemasangan APK pada masa pemilu ini perlu menjadi perhatian serius bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Di tengah krisis iklim, aktivitas politik sepatutnya tidak lagi menggunakan cara konvensional yang berujung pada kerusakan lingkungan. Di tengah perkembangan teknologi, metode kampanye baru seharusnya sudah mulai diterapkan dengan mengedepankan melawan perubahan iklim.