Psikolog: Aktivitas di Media Sosial Bisa Picu Hubungan Buruk dengan Makanan
Media sosial berpotensi menimbulkan perasaan tidak mampu dan ragu pada diri sendiri.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dengan jutaan orang mengidap kelainan makan, hubungan individu dengan makanan disebut para pakar tengah berada pada titik terendah sepanjang masa. Seorang ahli menjelaskan bahwa itu bisa jadi ada hubungannya dengan media sosial.
Psikolog klinis Romi Ran menjelaskan pengaruh media sosial terhadap relasi seseorang dengan makanan dan harga diri. Ran adalah psikolog yang mengkhususkan diri pada topik pola makan dan citra tubuh.
Menurut Ran, platform seperti Instagram dan TikTok berpotensi menimbulkan perasaan tidak mampu dan ragu pada diri sendiri. Itu terjadi jika pengguna media sosial tidak memfilter dengan baik konten yang diakses.
"Pengguna dibombardir dengan gambar makanan 'sehat' yang tampak sempurna, tubuh ideal, dan influencer yang membagikan postingan 'apa yang harus dimakan dalam sehari'," kata Ran, dikutip dari laman Women's Health Magazine, Sabtu (17/2/2024).
Paparan terus-menerus tersebut bisa mendorong individu membandingkan diri dengan kehidupan yang telah "dikurasi" dari para influencer. Selain itu, pengguna media sosial bisa kebingungan karena ada begitu banyak nasihat "makan sehat" yang bertentangan.
Ran mengutip hasil penelitian yang menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang luas berkorelasi dengan peningkatan gangguan makan. Begitu juga imbasnya dalam bentuk ketidakpuasan terhadap tubuh, dan memburuknya kesehatan mental.
Sebuah studi tinjauan baru-baru ini menemukan bahwa dampak ini terjadi di lebih dari 17 negara dan tidak hanya terbatas pada masyarakat Barat. Hasil penelitian ini menyoroti penyebaran kekhawatiran ini ke negara-negara Asia.
Standar kecantikan yang....
Terlebih, standar kecantikan yang kebarat-baratan kini mudah diakses di media sosial. Dampaknya adalah peningkatan yang mengkhawatirkan dalam hal ketidakpuasan terhadap tubuh dan gangguan makan di wilayah-wilayah yang secara tradisional tidak terlalu sering mengalami permasalahan ini.
Survei daring yang dilakukan oleh Mental Health Foundation mengungkapkan bahwa 40 persen remaja Inggris berusia 13 hingga 19 tahun mengungkapkan kekhawatiran mengenai citra tubuh akibat media sosial. Remaja bukanlah satu-satunya yang merasa demikian.
Sebuah survei lain yang dilakukan oleh Florida House Experience mengungkapkan bahwa orang dewasa juga terdampak. Sebanyak 50 persen perempuan dewasa dan 37 persen pria dewasa yang disurvei tidak suka membandingkan tubuh mereka dengan gambar di media sosial dan tradisional.
Mengapa media sosial mempunyai pengaruh sebesar itu? Ran menjelaskan, itu karena hubungan individu dengan makanan sangatlah kompleks. Hal itu merupakan hasil dari pengalaman awal, keyakinan keluarga dan budaya, norma masyarakat, faktor genetik, pola kebiasaan yang dipelajari, dan masih banyak lagi.
Semua faktor itu secara signifikan membentuk pola makan, sering kali tanpa disadari. Belum lagi, paparan iklan produk seperti klaim ‘rendah kalori’, ‘makanan sehat’, atau ‘makanan tak sehat' yang ikut memengaruhi.
Tidak seperti periklanan konvensional, media sosial setiap hari membombardir penggunanya dengan beragam konten. Bukan cuma membujuk untuk membeli produk tertentu, namun juga untuk mencapai tujuan semu yang sebenarnya mustahil dicapai.
Paparan yang terus-menerus ini memperbesar tekanan untuk mengubah berbagai aspek diri. Sekaligus, mengintensifkan tantangan dalam menjaga hubungan yang sehat dengan makanan dan citra tubuh.
"Yang lebih mengkhawatirkan lagi, media sosial memungkinkan siapa saja untuk memposisikan diri mereka sebagai ahli dan membagikan pandangan mereka, meskipun pandangan tersebut sepenuhnya tidak teratur, tidak akurat, atau berbahaya," ucap Ran.