Jepang Tergelincir ke Jurang Resesi, Ternyata Ini Penyebabnya

Kontraksi ekonomi diperkirakan akan kembali terjadi.

EPA-EFE/KIMIMASA MAYAMA
Pejalan kaki menyeberang jalan di Tokyo, Jepang pada 1 Desember 2023.
Rep: Iit Septyaningsih Red: Ahmad Fikri Noor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jepang secara tak terduga tergelincir ke dalam resesi pada akhir tahun lalu. Negara itu pun kehilangan predikat sebagai negara dengan ekonomi terbesar ketiga di dunia.

Baca Juga


Hilangnya predikat itu dikarenakan disalip Jerman dan peningkatan keraguan mengenai kapan bank sentral akan mulai keluar dari kebijakan moneter ultra-longgarnya yang telah berlangsung selama satu dekade. Beberapa analis memperingatkan, akan adanya kontraksi lagi pada kuartal ini karena lemahnya permintaan di China.

Itu juga karena lesunya konsumsi dan terhentinya produksi pada unit Toyota Motor Corp. Semuanya mengarah pada jalur yang menantang menuju pemulihan ekonomi.

"Hal paling mencolok, yaitu lesunya konsumsi dan belanja modal yang merupakan pilar utama permintaan domestik,” kata ekonom eksekutif senior di Dai-ichi Life Research Instutute Yoshiki Shinke seperti dilansir Reuters, Jumat (16/2/2024).

Ia menambahkan, perekonomian akan terus kekurangan momentum pada saat ini, tanpa adanya pendorong utama pertumbuhan. Produk domestik bruto (PDB) Jepang turun 0,4 persen secara tahunan pada periode Oktober-Desember setelah penurunan 3,3 persen pada kuartal sebelumnya. Data pemerintah itu pun mengacaukan perkiraan pasar yang memperkirakan kenaikan sebesar 1,4 persen.

Dikatakan, kontraksi dua kuartal berturut-turut biasanya dianggap sebagai definisi resesi teknis. Meski banyak analis masih memperkirakan Bank of Japan (BoJ) akan menghentikan stimulus moneternya secara bertahap pada tahun ini, data yang lemah mungkin menimbulkan keraguan terhadap perkiraan Bank of Japan soal kenaikan upah akan mendukung konsumsi dan menjaga inflasi tetap berada di sekitar target dua persen.

“Penurunan PDB dua kali berturut-turut dan penurunan permintaan domestik tiga kali berturut-turut adalah berita buruk. Meski revisi tersebut dapat mengubah angka akhir,” Ekonom Senior di Moody's Analytics Stephan Angrick.

Hal itu, lanjutnya, mempersulit bank sentral untuk membenarkan kenaikan suku bunga. Menteri Perekonomian Jepang Yoshitaka Shindo menekankan, perlunya mencapai pertumbuhan upah yang solid untuk mendukung konsumsi, yang ia gambarkan sebagai kurangnya momentum karena kenaikan harga. “Pemahaman kami adalah, BOJ memperhatikan secara komprehensif berbagai data, termasuk konsumsi, dan risiko terhadap perekonomian dalam mengarahkan kebijakan moneter,” jelasnya. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler