Soal Terdakwa Koruptor Diminta 6 Juta Dolar AS, KPK: Laporkan Saja
KPK banyak menerima laporan pihak mengaku insan KPK menjanjikan penghentian perkara.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta setiap pihak yang diperas oleh oknum pegawai KPK agar melaporkannya. KPK berjanji aduan tersebut bakal ditindaklanjuti.
Hal itu disampaikan Juru Bicara KPK Ali Fikri menyangkut eks Komisaris Independen Wijaya Karya, Dadan Tri Yudianto yang mengaku diperas oknum KPK 6 juta dolar Amerika Serikat supaya bebas dari status tersangka. Dadan kini berstatus terdakwa kasus suap penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA).
"KPK meminta kepada terdakwa (Dadan Tri) untuk melaporkannya kepada Dewan Pengawas ataupun Pengaduan Masyarakat KPK dengan disertai bukti-bukti awal untuk dapat ditelusuri lebih lanjut kebenarannya," kata Ali kepada wartawan, Kamis (22/2/2024).
Ali menyebut nantinya laporan itu bakal diproses dengan langkah verifikasi. "Kami yakinkan bahwa setiap aduan dari masyarakat akan ditindaklanjuti dengan proses verifikasi awal," tegas Ali.
Ali menegaskan penyidikan kasus korupsi di KPK dilalukan berdasarkan prosedur ketat. KPK memastikan penanganan perkara melalui proses yang melibatkan lintas unit. Selanjutnya dilakukan gelar perkara untuk menentukan siapa pihak-pihak yang bertanggung jawab dan ditetapkan sebagai Tersangka.
"Keputusan Pimpinan pun dilakukan secara kolektif kolegial. Sehingga penanganan perkara di KPK tidak ditentukan oleh orang-per orang, namun tersistem dalam kerja tim," ujar Ali.
Ali juga mengungkapkan KPK banyak memperoleh laporan pihak yang mengaku insan KPK dengan menjanjikan penghentian perkara. Ali menyampaikan KPK bersama aparat penegak hukum lain pernah menindak pelaku semacam itu.
"Kasus lain serupa misalnya, sebagai contoh adalah dalam perkara di Muara Enim. Modus penipuan ini justru dilakukan oleh penasehat hukum dari terdakwanya sendiri. Kemudian atas perbuatannya, oknum penasehat hukum tersebut diputus bersalah dalam sidang etik advokat," ujar Ali.
Tercatat, Dadan Tri Yudianto dituntut hukuman penjara selama 11 tahun 5 bulan. Dadan juga menghadapi tuntutan pembayaran denda Rp 1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 7.950.000.000.
Dadan Tri Yudianto diyakini JPU KPK melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 18 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Kasus ini berawal saat Debitur KSP Intidana Heryanto Tanaka mengajukan kasasi ke MA lantaran tidak puas putusan Pengadilan Negeri (PN) Semarang yang membebaskan terdakwa Budiman Gandi Suparman. Heryanto kemudian menunjuk Theodorus Yosep Parera sebagai pengacaranya.
Setelah itu, Heryanto menghubungi kenalannya, yakni eks Komisaris Wika Beton, Dadan Tri Yudianto yang memiliki relasi di MA untuk meminta bantuan mengawal proses kasasi tersebut. Keduanya pun membuat kesepakatan.
Dari komunikasi antara Heryanto dan Yosep Parera ada sejumlah skenario yang diajukan untuk mengabulkan kasasi tersebut. Skenario itu disebut dengan istilah 'jalur atas' dan 'jalur bawah' dan disepakati penyerahan sejumlah uang ke beberapa pihak yang memiliki pengaruh di Mahkamah Agung. Salah satunya adalah Hasbi Hasan selaku Sekretaris Mahkamah Agung.
Selanjutnya, Heryanto memerintahkan Yosep Parera untuk mengirimkan susunan Majelis Hakim tingkat kasasi ke Dadan pada Maret 2022. Lalu, Heryanto bertemu dengan Dadan dan Yosep Parera di Rumah Pancasila Semarang, Kota Semarang, Jawa Tengah sebagai bentuk keseriusan pengawalan kasasi di MA.
Dalam pertemuan itu, Dadan juga sempat melakukan komunikasi dengan Hasbi melalui sambungan telepon. Dia meminta Hasbi untuk turut serta mengawal dan mengurus kasasi perkara Heryanto di MA dengan disertai adanya pemberian sejumlah uang. Hasbi sepakat dan menyetujui untuk turut ambil bagian dalam mengawal dan mengurus kasasi itu.
Setelah terjalin kesepakatan, terdakwa Budiman Gandi Suparman dinyatakan terbukti bersalah di tingkat kasasi dan dipenjara lima tahun. Kemudian, sekitar Maret sampai dengan September 2022 Heryanto mentransfer uang ke Dadan sebanyak tujuh kali dengan jumlah sekitar Rp 11,2 miliar.