Cakupan Puting Beliung di Bandung Kurang dari 10 Kilometer, tak Bisa Disebut Tornado

Diameter puting beliung di Rancaekek dinilai terlalu kecil untuk disebut tornado.

Republika
Angin puting beliung di wilayah Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Diameter puting beliung dinilai terlalu kecil untuk disebut tornado karena cakupannya tak sampai 10 kilometer.
Rep: Antara Red: Qommarria Rostanti

REPUBLIKA.CO.ID, JKARTA -- Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Eddy Hermawan menganalisa diameter puting beliung yang melanda Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Menurut dia, diameter puting beliung yang terjadi pada Rabu (21/2/2024) terlalu kecil untuk disebut tornado karena cakupannya tak sampai 10 kilometer.

Baca Juga


"Tornado di Amerika Serikat biasanya melibatkan tiga sampai empat kota, seperti Mississippi, California, dan New Orleans kena semua. Sedangkan, (puting beliung di Bandung) hanya Rancaekek yang diameternya kurang dari 10 kilometer," ujarnya di Jakarta, Kamis (22/2/2024).

Eddy mengatakan, selain cakupan wilayah yang tergolong sempit, angin kencang berputar di Bandung juga memiliki kecepatan yang rendah sekitar 50 sampai 70 kilometer per jam. Menurutnya, bencana angin kencang berputar baru bisa dikatakan tornado apabila memiliki kecepatan angin menembus angka 120 kilometer per jam.

Berdasarkan Skala Enhanced Fujita, kecepatan angin yang mencapai 120 kilometer per jam tersebut masuk ke dalam skala F1. Tak hanya diameter yang kecil dan kecepatan yang rendah, faktor pembangkit angin kencang di Bandung hanya bersumber dari awan kumulonimbus yang sedikit dan sempit.

Badai tornado muncul di negara lintang tinggi, seperti Amerika Serikat akibat keberadaan awan kumulonimbus yang besar dan luas. "Biasanya tornado berasal dari awan-awan yang ada di atas lautan masuk ke daratan. Sedangkan di Rancaekek tidak, karena berada di tengah Pulau Jawa," ujar Edy.

Dia menjelaskan, fenomena puting beliung yang melanda Bandung, salah satunya dipicu akibat perubahan tata guna lahan. Awalnya, Rancaekek merupakan kawasan hijau dengan suhu udara yang relatif stabil dan sejuk. Namun, ketika wilayah itu berubah menjadi kawasan industri membuat suhu udara menjadi tidak stabil dan cenderung panas.

Ketika siang hari suhu udara terasa sangat panas dan saat malam hari suhu udara menjadi sangat dingin. Perubahan tata guna lahan menciptakan fenomena tekanan rendah yang menghisap uap air dari berbagai daerah di sekitar Rancaekek, sehingga menciptakan kumpulan awan kumulonimbus.

Kemudian, embusan angin dingin dari Australia menciptakan perbedaan tekanan yang akhirnya membentuk pusaran angin. "Saya melihat perubahan tata guna lahan begitu cepat," ujar Eddy.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler