Pakar: Hak Angket untuk Pemilu Berdampak Destruktif Terhadap Sistem Ketatanegaraan

Fahri menyarankan pihak yang tak puas hasil pemilu menggunakan instrumen kepemiluan.

Dok Republika
Ahli hukum tata negara dan konstitusi asal Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid.
Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi, Fahri Bachmid, menilai langkah DPR keliru dan jauh dari prinsip konstitusi jika menggunakan hak angket untuk menilai dan menyelidiki proses serta produk pemilu. Fahri menyebut DPR dilengkapi alat berupa hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat, dalam konteks pengawasan terhadap lembaga eksekutif dalam menjalankan pemerintahan negara. 

Baca Juga


Menurut Fahri, hak-hak yang melekat di DPR tersebut bukan untuk menilai atau membahas terkait proses atau hasil pemilu dengan segala implikasinya. "Jika DPR mencoba membuat kebijakan ekstensifikasi kewenangannya termasuk menggunakan alat angket untuk menilai serta menyelidiki proses serta produk pemilu itu sendiri, tentu merupakan jalan yang keliru serta jauh dari prinsip konstitusi, yang telah secara tegas meletakan diferensiasi kewenagan konstitusional pada masing-masing lembaga negara," tutur Fahri dalam keterangan, Jumat (23/2/2024).

Fahri menambahkan, penyelesaian sengketa pemilu telah ditentukan secara limitatif dalam konstitusi. Sehingga kanal penyelesaian secara konstitusional tidak dikenal digunakan diluar dari yang telah ditentukan dalam ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Yakni, bahwa "Mahkamah Konstitusi berwenang memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum".

"Menurut hemat saya, jalan itu yang mestinya digunakan, sebab jika angket yang mau dipaksakan maka tentu itu sangat destruktif terhadap sistem ketatanegaraan. Angket adalah operasi sesar yang tidak dikenal dalam sistem penyelesaian sengketa pemilu di republik ini, tidak ada dalam kerangka hukum pemilu kita," tegas Fahri.

Ia menambahkan, dalam konteks pemilu, penggunaan hak angket adalah absurd serta inskonstitusional. Sebab, hal itu tidak dikenal dalam bangunan hukum pemilu di Indonesia. 

"Penjelasan dalam Pasal 79 ayat (3) UU RI Nomor 17/2014 tentang MD3 dengan jelas menyatakan bahwa Hak Angket dimaksudkan untuk mengawasi lembaga eksekutif, yang mencakup Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, dan pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian," ujarnya.

Dengan demikian, ujar Fahri, jika hak angket digunakan sebagai alat untuk mengurai permasalahan pemilu, maka hakikatnya telah masuk pada ranah sengketa pemilu. Hal itu merupakan yurisdiksi pengadilan dan menjadi kompetensi absolut dari Mahkamah Konstitusi (MK), bukan DPR. Fahri menyarankan para pihak yang tak puas dengan hasil pemilu menggunakan instrumen hukum yang ada dalam kerangka hukum kepemiluan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler