Perang Rusia di Ukraina Dorong Perpecahan Perdagangan Dunia
WTO memperingatkan perpecahan dua blok bersaing akan menyusutkan perekonomian dunia.
REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Dua tahun setelah invasi Rusia ke Ukraina terlihat tanda-tanda perekonomian dunia terpecah menjadi dua kubu. Mengancam peraturan multilateral yang menopang perdagangan dunia selama hampir 30 tahun.
Ketegangan geopolitik termasuk di Timur Tengah dan kekhawatiran terhadap keamanan ekonomi memicu sanksi, serta pembatasan perdagangan dan memperlebar kesenjangan antara negara-negara yang mendukung Rusia dan mendukung Ukraina. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) akan menggelar pertemuan dua tahunan tingkat menteri untuk memperdebatkan peraturan perdagangan dunia pekan depan.
WTO memperingatkan perpecahan dua blok bersaing akan menyusutkan perekonomian dunia hingga lima persen yang akan berdampak besar pada negara-negara berkembang. Dalam skenario paling ekstrem, Amerika Serikat (AS) dan Cina serta sekutu-sekutu mereka terlibat dalam perang dagang bipolar dan masing-masing blok akan menetapkan peraturannya sendiri-sendiri yang akan melemahkan kesepakatan multilateral.
Dunia belum di tahap tersebut tapi ekonom-ekonom WTO mengungkapkan sejak invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 lalu, perpecahan dua blok semakin melebar. "Kami menemukan bukti-bukti awal adanya tren ke arah keselarasan yang lebih kuat antara arus perdagangan dan kedekatan geopolitik sejak dimulainya perang di Ukraina," kata para ekonom WTO dalam laporan mereka, Kamis (22/2/2024).
"Temuan kami menunjukkan tanda-tanda awal perpecahan dalam perdagangan dunia," tambah mereka. Perpecahan itu berdasarkan pada pola dalam pemungutan suara di PBB termasuk tapi tidak terbatas pada resolusi mengenai perang di Ukraina.
Mereka mengecualikan Ukraina, Rusia dan Belarusia yang merupakan sekutu Rusia untuk menghilangkan dampak sanksi dan perang itu sendiri. Mereka menemukan pertumbuhan perdagangan dua kubu itu melambat 4 persen dibandingkan perdagangan negara di dalam kubu masing-masing.
Sementara para ekonom menunjukkan tanda-tanda 'friend-shoring' atau alih mitra, mereka tidak menemukan bukti adanya nearshoring. Para ekonom tidak menemukan adanya peningkatan perdagangan di dalam kawasan. Meski mereka tidak mengasesmen apakah negara-negara membawa nilai rantai pasokan mereka ke kawasan masing-masing.
Friend-shoring adalah tindakan satu negara mengalihkan manufaktur atau sumber dayanya ke negara yang memiliki pemahaman geopolitik yang sama. Sementara nearshoring adalah relokasi manufaktur atau sumber daya ke negara terdekat.
'Friend-shoring' adalah istilah yang digunakan Menteri Keuangan AS Janet Yellen dan pejabat lainnya untuk mendorong negara-negara mendiversifikasi rantai pasokan dari Cina ke negara-negara demokrasi yang berorientasi pasar seperti India. Dalam kasus AS dan Cina, para ekonom WTO menemukan ketegangan perdagangan yang dipicu perang dagang mantan Presiden AS Donald Trump diperburuk perang Ukraina.
Paradoksnya aliran perdagangan antara dua negara memuncak ke rekor tertinggi pada tahun 2022. Ketika permintaan AS untuk barang-barang konsumsi Cina naik dan permintaan Cina untuk produk pertanian dan energi AS juga tumbuh.
Namun penelitian WTO menunjukkan dibandingkan perdagangan AS dan Cina dengan mitra-mitra lainnya perdagangan bilateral antara dua negara melambat. Laporan ini menyimpulkan meningkatnya ketegangan perdagangan dan perang di Ukraina mengakibatkan perlambatan perdagangan bilateral hingga 31 persen dari Juli 2018.
Ketegangan geopolitik menjadi salah satu penyebab penurunan pertumbuhan perdagangan barang dunia terutama pada tahun lalu. WTO mengatakan mereka sudah memangkas prediksi pertumbuhan 0,8 persen persen.
Sementara Bank dunia menetapkannya di angka 0,2 persen, pertumbuhan paling lambat selama 50 tahun terakhir selain ketika dunia mengalami resesi global. Wakil ekonom Bank Dunia Ayhan Kose mengatakan pelemahan ini terjadi karena adanya perubahan dramatis pada kebijakan perdagangan menyusul penerapan integrasi perdagangan sebelumnya.
"Era tersebut pada dasarnya telah hilang. Sekarang kita memiliki era baru yang ditandai dengan negara-negara yang tidak menandatangani perjanjian, dan jika Anda melihat jumlah pembatasan perdagangan yang diberlakukan di seluruh dunia, jumlah tersebut telah meroket," katanya.