Praktisi Hukum Sebut Pelaku Bullying Harus Ditindak Tegas
Jika bully mengarah pada penganiayaan, pelaku dapat dihukum sesuai Pasal 351 KUHP.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus perisakan atau bullying oleh geng pelajar yang bersekolah di sebuah SMA elite belakangan menjadi perbincangan banyak pihak. Sebelum itu, berbagai insiden serupa pun sebenarnya sudah terjadi. Seorang pakar mengatakan, pelaku bullying sepatutnya ditindak tegas tanpa ada kompromi.
Hal tersebut disampaikan oleh praktisi hukum JJ Amstrong Sembiring yang juga merupakan calon pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023. Dia menyebutkan, itu karena kasus perisakan menyebabkan dampak yang sangat serius.
"Beberapa tahun lalu seorang siswa SD di Banyuwangi ditemukan mengakhiri hidupnya dengan cara menggantung diri di rumah karena merasa tidak kuat menahan bully yang dilakukan oleh teman sebayanya hanya karena ia tidak mempunyai ayah," kata Amstrong dalam pernyataan resminya.
Dia juga mengingatkan kasus lain di mana seorang siswa SMP di Kabupaten Temanggung, Provinsi Jawa Tengah, nekat melakukan pembakaran sekolah. Hal itu lantaran ia sudah enam bulan menjadi korban bully, seperti dikeroyok oleh kakak kelas dan teman sekelas.
Pelajar itu juga menerima perlakuan tidak menyenangkan dari oknum oknum guru yang seharusnya memberikan perlindungan di sekolah yang menaruh luka di hati siswa. Menurut Amstrong, kasus bullying bisa terjadi di mana saja.
Perisakan bisa saja berlangsung di rumah, kantor, atau lembaga pendidikan seperti sekolah dan universitas. Kondisi tersebut juga menjadi gambaran bahwa bullying dapat terjadi kepada siapa saja, terutama pada anak-anak hingga remaja.
Perilaku bullying merupakan situasi....
Amstrong mengatakan, perilaku bullying merupakan situasi di mana terjadi penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan yang dilakukan seseorang ataupun sekelompok orang terhadap orang lain. Bullying dilakukan secara terus-menerus oleh pihak-pihak yang merasa dirinya lebih kuat dengan tujuan membuat korban menderita serta tidak berdaya.
Disampaikan Amstrong, ada jenis bullying fisik, yang melibatkan kontak fisik antara pelaku dan korban. Itu bisa berupa memukul, menendang, meludahi, mendorong, memaksa korban melakukan ativitas fisik tertentu, atau merusak barang milik korban.
Jika ini mengarah pada penganiayaan, yang mana seseorang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang lain yang mengakibatkan sakit atau luka, maka hukumannya diatur dalam Pasal 351 KUHP. Pelaku bisa terancam pidana penjara maksimal dua tahun delapan bulan.
Sementara, ada bullying verbal seperti mengejek, memberi nama julukan yang tidak pantas, memfitnah, melecehkan melalui pernyataan seksual, meneror, dan lain-lain. Jika itu terjadi penghinaan, yakni menghina kehormatan atau nama baik seseorang dengan lisan, tulisan, atau perbuatan, maka hukumannya diatur dalam Pasal 310 KUHP. Pelaku bisa mendapat ancaman pidana penjara maksimal 9 bulan atau denda maksimal Rp 4.500.
Jenis lain adalah bullying relasional, misalnya memandang seseorang sinis atau penuh ancaman, mengucilkan seseorang, mendiamkan, serta mengakhiri hubungan tanpa alasan. Biasanya, ini terjadi karena munculnya situasi di mana kelompok tertentu berseberangan dengan kelompok ataupun individu lain.
Jika dalam bullying relasional terjadi pencemaran nama baik, seperti menuduh seseorang melakukan perbuatan tercela yang dapat merugikan kehormatan atau nama baiknya, itu diatur dalam Pasal 311 KUHP. Ancamannya adalag pidana penjara maksimal empat tahun.
Terdapat pula perisakan siber atau cyberbullying yang dilakukan melalui media elektronik seperti komputer, telepon genggam, internet, website, chatting room, email, pesan pendek, dan sebagainya. Ini diatur dalam Pasal 45A UU ITE dengan ancaman pidana penjara maksimal empat tahun dan/atau denda maksimal Rp 1 miliar.
"Hal ini perlu mendapat perhatian dan harus kita sikapi bersama demi melindungi, mengurangi, dan menghentikan perilaku bullying yang kerap diterima maupun dilakukan oleh anak-anak yang merupakan penerus bangsa," tutur Amstrong.