Evaluasi Program HGBT Dinilai Perlu Dilakukan
Evaluasi juga diperlukan untuk mengukur dampak dari kebijakan tersebut.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kebijakan harga gas murah atau Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk tujuh sektor industri dinilai perlu dikaji kembali. Selain perkembangan ekonomi semakin membaik pascapandemi Covid-19, evaluasi juga diperlukan untuk mengukur dampak dari kebijakan itu apakah sesuai tujuannya atau justru menimbulkan beban bagi negara.
Direktur Eksekutif Intitute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, dalam setahun sampai dua tahun belakangan ada beberapa industri yang mengalami kontraksi bahkan defisit. Meski begitu, evaluasi terhadap tujuh industri penerima HGBT harus tetap jadi prioritas.
”Dilihat kembali, itu harus dinamis melihat perkembangan ekonomi,” ungkapnya kepada wartawan, Rabu (28/2/2024).
Sebanyak tujuh sektor industri penerima gas bumi di bawah harga pasar yakni USD 6 per MMBTU itu terdiri atas petrokimia, pupuk, baja, oleochemical, keramik, kaca, hingga sarung tangan karet. Seluruhnya mendapatkan keringanan harga tersebut sejak pandemi melanda dengan harapan tetap produktif dan berdaya saing sehingga berdampak positif yang salah satunya memerluas lapangan kerja.
Melihat realisasi yang ada, Tauhid menyarankan bahwa HGBT harus benar-benar bisa menjangkau ke industri yang memang sangat membutuhkan. Cerminannya adalah dari maksimalnya konsumsi gas bumi oleh industri tersebut sesuai alokasi yang sudah ditentukan.
Pada tahun 2023, dari alokasi 100 persen atau sebesar 2.541 MMBTU HGBT sesuai Kepmen ESDM Nomor 91/2023, sesuai dengan data sementara dari SKK Migas serapannya hanya mencapai 74 persen oleh tujuh industri penerima HGBT.
”Berarti ya dikurangi saja, diberikan ke yang benar-benar butuh. Kan sesuai kapasitas penyerapan. Kedua, industrinya yang sudah bangkit ya tidak perlu lagi dikasih harga tertentu, apalagi yang masih positif tinggi misalnya di atas 5 persen,” ujar Tauhid.
Pemerintah diminta tidak gegabah meneruskan program HGBT apalagi baru-baru ini muncul wacana untuk menambah jumlah industri penerimanya. ”Dievaluasi dulu. Katanya, bahkan industrinya mau ditambah, ya dilihat dulu, jangan semua disamakan. Jadinya tidak ada keadilan dan proporsionalitas yang lagi raup untung masa dikasih juga, kan jangan,” ucapnya.
Penggunaan gas bumi perlu sebijak dan seefektif mungkin dalam rangka menyesuaikan dengan program transisi energi yang berkeadilan dan berkelanjutan. Selain itu, kerugian negara dari hilangnya potensi pendapatan akibat program HGBT juga perlu menjadi pertimbangan utama.
Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat sampai tahun 2022 pelaksanaan HGBT berdampak pada kehilangan penerimaan negara sebesar Rp 29,39 triliun. Hal ini merupakan kehilangan penerimaan negara yang terjadi pada sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) akibat penyesuaian harga gas bumi setelah menghitung bagi hasil produksi migas antara bagian pemerintah terhadap kontraktor.
Serupa, lembaga kajian energi Reforminer Institute juga memperkirakan negara telah kehilangan penerimaan PNBP dari gas hingga sekitar Rp 30 triliun akibat subsidi harga gas sejak tahun 2020 ini.
Sebelumnya, Deputi Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas, Kurnia Chairi, mengingatkan perlunya ada peningkatan serapan gas HGBT namun pada saat yang sama penting juga untuk menjaga keekonomian hulu migas sehingga tetap menarik bagi investasi untuk keberlangsungan secara jangka panjang.
Maka menurutnya penting supaya HGBT dapat memberikan nilai tambah dan produktivitas industri dalam negeri sehingga mampu kompetitif sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi nasional. ”Hal tersebut dilakukan dengan tetap menjaga keekonomian hulu migas sehingga tetap menimbulkan daya tarik investasi hulu migas yang juga sangat penting,” ujar Kurnia.