Beras Pada Kelaparan Jawa: Rusuh Sosial Berasal dari Perut Kosong!
Sejarah beras dan jejak kelaparan pada peradaban Jawa
Beras dalam kehidupan orang Jawa sudah merupakan makanan utama sejak lebih dari 100 tahun silam. Jejaknya ada di prasasti Rukam tahun 829 Saka/970 Masehi.
Dalam prasati itu disebutkan betapa beras atau nasi dalam sebuah acara slametan disebut hidangan utama (skul parinurna) di antara berbagai komoditi pangan lainnya.
Nasi dalam acara itu dijadikan tumpeng dengan disertai berbagai lauk pauknya yang akan dimakan bersama. Posisi nasi sebagai makanan utama orang Jawa kuno bisa dilihat dari berbagai relief di candi Borobudur yang ada di Jawa Tengah hingga candi Menakjinggo yang ada di Jawa Timur.
Memang di Jawa dari dahulu sudah ada makanan pokok alternatif selain beras. Tapi itu juga gagak menjadi makanan utama. Ini misalnya segala macam umbi-umbian yang disebut ‘palakesamper[ seperti ubi, suweg, ketela, gayong, dan sejenis lainnya.
Namun padi tetap menjadi makanan utama. Bahkan, bila dibandingkan dengan padi hari ini, pada zaman itu lebih enak ketika di masak.
Keenakan rasa padi jenis lama itu pasti masih bisa diceritakan pada generasi yang mengenyam tanaman padi dengan batang tinggi, yakni sebelum tahun pertengahan akhir 1970-an. Atau, sebelum datangnya varian baru padi hasil penelitian laboratorium padi PBB di Filipina (IRI) yang kala pertamanya memperkenalnkan varian padi unggul tahan wereng (VUTW).
Arti penting beras bagi orang Jawa itu tak tergantikan. Bahkan dalam sejarahnya bila terjadi kelangkaan maka akan timbul masalah politik kenegaraan. Ini misalnya terjadi pada waktu perpindahan besar-besaran pada masa Mataram kuni, yang kala itu ibu kotanya berada di sekitar gunung Merapi di Jogjakarta.
Migrasi dari pusat Jawa Tengah ke ujung Jawa Timur yakni di daerah delta Sungai Brantas sekitar tahun 1000 M terjadi karena letusan dahsyat Merapi yang menutupi semua lahan pertanian. Jejak ini ada pada candi Kimpulan yang berada di komplek UII Yogyakarta yang ditemukan berada 4 meter di dalam tanah vulkanis. Lokasi candi ini lebih tepatnya berada di dusun degolan, sekitar 24 kilometer dari arah utara pusat Jogjakarta.
*****
Arti penting beras bagi eksisnya kekuasaan di Jawa juga terjejak pada masa akhir Majapahit yakni sekiat paruh akhir dekade tahun 1400 M. Kala itu terjadi perang Paregreg. Akibat perang terjadi kelangkaan beras akibat lahan sawah tak ditanami. Para petani takut menanam padi karena sering terjadi bentrokan dan kerusuhan.
Pada saat itulah seseorang sufi pendakwah yang berasal dari Asie Tengah (Ubzeksitan) datang ke Majapahit. Dia Bernama Maulana Malik Ibrahim. Dia datang pertama kali melalui pelabuah Gresik. Daerah yang ditujunya yakni Desa Sembalo, desa yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar. Lokasinya sekitar 9 kilometer arah utara Kota Gresik.
Maulana Malik Ibrahim adalah lulusan Mesir. Selama belajar di sana dia juga mempelajari berbagai soal pertanian. Maka selain kedalaman ilmu agama, Malik Ibrahim juga menguasai ilmu-ilmu yang terkait dengan pertanian.
Nah, ketika Malik Ibrahim datang Majapahit dalam kondisi kekurangan bahan makanan akibat perang Paregreg itu. Maka dia berinisiatif membuat persawahanan. Dan uji cobana berhasil baik karena dia tahu mengenai seluk pertanian yang didapat ketika belajar di Mesir yang punya tradisi pertanian yang kuat semenjak dahulu kala.
Keberhasilam mencetak sawah dan membuat produksi berlimpah, membuat perhatian penguasa Majapahit tertarik. Maka dia pun mendapatkan pujian, bahkan kemudian mendapat gelar sebagai penyelamat bangsa dari krisis kelaparan.
Setelah sukses mengatasi kelaparan dengan mencetak sawah maka Malik Ibrahim mulai melakukan dakwah. Bahkan gerakannya dapat dilakuan secara leluasa karena dia punya jasa besar kepada Majapahit. Dia pun tidak dicurigai sebagai orang pembuat onar atau jululan buruk lainnya. Maulana Malik Ibrahim ini membuktikan bahwa dakwah hanya dilakukan ketika perut rakyat kenyang dan hidup sejahtera berkeucukapan.
*****
Posisi utama beras dalam politik kekuasaan Jawa itu kemudian terjadi lagi pada menjelang perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro (1825-1830 M). Kala itu semenjak awal tahun 1900 rakyat Jawa secara perlahan mengamali krisis pangan. Kelaparan merebak di mana-mana. Di sepanjang pantai utara Jawa orang-orang mati kelaparan gampang ditemukan. Desa-desa sangat menderita. Kehidupan rakyat sangat buruk: Miskin dan lapar.
Tak hanya itu, akibat kelaparan akut pada saat yang sama juga muncul terjangan pandemic kolera. Rakyat ternyata tak lagi peduli akan jenis makanan yang dikonsumsi, selain juga sebagai akibat mereka tak paham akan kebersihan makanan dan minuman. Ini misalnya meminum air yang tanpa di masak yang banyak menyebabkan sakit perut hingga kolera.
Kerawanan sosial ini makin bertambah dengan meletusnya gunung Tambora di Nusa Tenggara dan gunung Merapi yang berada di Jogjakarta. Khusus untuk letusan Gunung Tambora efeknya adalah dalam beberapa tahun terjadi perubahan iklim sehingga musim tanam padi berantakan.
Krisis pangan akibat kelangkaan beras di Jawa itu diam-diam beranjut hingga tahun 1900, atau menjelang ditetapkannya kebijakan politik etis. Semua tahu akibat tanam paksa mala lahan-lahan sawah yang subur di Jawa beralih fungsi menjadi lahan yang diperuntukan bagi komiditi pertanian yang laku di Eropa.
Maka lahan-lahan subur tak lagi di tanami padi berubah misalnya menjadi lahan pertanian tebu dan tembakau. Akibatnya, produksi beras merosot, rakyat lagi-lagi banyak yang kelaparan.
Kejaian yang serupa juga terjadi pada masa pemerintahan kolonial Jepang se[anjang tahun 1942-1945. Kala itu kelaparan di mana-mana. Produski beras rakyat dipaksa diserahkan kepada kolonial Jepang untuk memberi makan bala tentaranya yang berperang.
Operasi perampasan beras dari petugas kolonial Jepang berlangsung dari rumah-rumah ke rumah.Minimal rakyat harus menyerahkan lebih dari seperti padi yang berada di lumbung pangan rumahnya. Operasi ini sangat gencar di lakukan selama kurun itu.
Rakyat di Jawa, terutama yang berada di pedalamam, makan seadanya. Dia mengkonsumsi dedauan hingga memasak bonggol batang pohon pisang untuk menahan perut keroncongan.
Kala itu jenis umbi yang disebut Ganyong yang kerap tumbur liar di kebun dan pekarangan rumah dijadikan sasaran. Meski rasanya tak enak seperti makan ubi yang tanpa rasa, gayong jadi sasaran untuk mengganjal rasa lapar.
Krisis beras juga kemudian terjadi sepanjang tahun 1960-an hingga menjelang tahun 1970-an. Dalam masa ini bergolak berbagai persoalan politik yang berdarah-darah. Rakyat saling bunuh dan mudah murah. Antri beras ada di mana-mana.
Hal yang sama juga terjadi menjelang tahun 1998. Kala itu musim kemarau berlangsung panjang akaibat El Nino. Rakyat mulai mengeluhkan kelanglaan beras. Maka kala itu dilakukan operasi penyelatan kehidupan rakyat dari bahaya kelaparan. Beras murah di sebar kemana dengan istilah kebijakan jaringan ‘Social Safety Nett’. Gejolak politik yang keras terjadi dari tahun 1998-2000 dibayangi ancaman kelangkaan beras alias kelaparan.
Jadi kalau sekarang, yakni pada tahun 2024 terjadi hal yang sama, maka ini menjadi pertanda serius. Beras jelas menjadi makanan utama penduduk Indonesia. Kalau sampai terjadi kelangkaan dan harganya melambung tinggi, maka tinggal menunggu waku saja terjadi krisis yang lain.
Mantan Presiden Suharto benar: “Revolusi dan kerusuhan sosial bisa terjadi kalau perut rakyat lapar..!”