Protes Kuota Sekolah Kedokteran, Sejumlah Profesor Korsel Pilih Mundur
Dekan, wakil dekan, hingga kepala departemen sekolah kedokteran mengundurkan diri.
REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Sejumlah profesor di Universitas Nasional Gyeongsang di selatan kota Jinju, Korea Selatan, memilih untuk mundur dari posisi administratif. Mereka melakukannya sebagai bentuk protes atas permintaan universitas untuk meningkatkan kuota penerimaan sekolah kedokterannya.
Awal pekan ini, Universitas Nasional Gyeongsang mengajukan penambahan kursi sekolah kedokteran menjadi 200 dari 76 kursi saat ini. Penambahan kursi dilakukan berdasarkan survei pemerintah mengenai berapa banyak slot yang diinginkan setiap universitas sebelum mengalokasikan 2.000 kuota kursi yang pemerintah putuskan untuk ditambah.
"Para profesor sekolah kedokteran telah menyampaikan keberatan mereka terhadap kenaikan kuota mahasiswa baru dalam pertemuan dengan rektor universitas, namun pendapat mereka tidak diterima," kata seorang pejabat sekolah kedokteran.
Ke-12 profesor tersebut mengajukan pengunduran diri dari jabatan administratif sebagai protes atas keputusan universitas tersebut. Mereka yang memilih meletakkan jabatannya ialah dekan, wakil dekan, hingga kepala departemen.
Dua profesor lainnya turut mengajukan pengunduran diri sebagai profesor. Kabarnya, itu dilakukan juga sebagai protes atas keputusan pemerintah menambah kuota fakultas kedokteran.
Awal pekan ini, Pemerintah mengumumkan bahwa 40 sekolah kedokteran di seluruh negeri mengajukan permohonan tambahan 3.401 kursi penerimaan tambahan. Angka itu jauh lebih tinggi dari rencana pemerintah untuk menambah 2.000 kursi dari saat ini 3.058 kursi mulai tahun depan.
Sehari sebelumnya, asosiasi profesor dari 33 fakultas kedokteran mengajukan gugatan administratif terhadap menteri kesehatan dan pendidikan atas upaya membatalkan rencana kenaikan kuota. Para profesor yang ikut serta berpendapat bahwa keputusan tersebut harus dibatalkan.
Para profesor berpendapat menteri kesehatan Korsel tidak mempunyai kewenangan untuk menentukan kuota penerimaan universitas. Mereka juga menyatakan bahwa rencana tersebut, yang dibuat tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan para profesor kedokteran, dokter magang, dan mahasiswa, merupakan pelanggaran terhadap proses hukum yang dijamin oleh Konstitusi.