Ada Kasus DBD, Permintaan Trombosit di PMI Ponorogo meningkat
PMI Ponorogo berupaya memenuhi kebutuhan trombosit.
REPUBLIKA.CO.ID, PONOROGO — Permintaan kantong trombosit ke Unit Transfusi Darah (UTD) Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, disebut meningkat belakangan ini. Peningkatan permintaan trombosit itu terkait kasus penyakit demam berdarah dengue (DBD).
“Dalam kurun waktu tujuh hari terakhir sudah ada permintaan 25 kantong trombosit untuk pasien DBD di beberapa rumah sakit dan klinik layanan kesehatan,” kata Ketua PMI Kabupaten Ponorogo Luhur Karsanto, Rabu (6/3/2024).
Menurut Luhur, biasanya rata-rata permintaan kantong trombosit berkisar 50-60 kantong per bulan. “Tapi, bulan ini, sudah berjalan enam hari, permintaannya sudah 25 kantong. Kalau satu bulan bisa 100 lebih, kalau trennya tidak berubah,” ujar Luhur.
Meski demikian, Luhur mengatakan, kenaikan permintaan kantong trombosit itu masih dapat terpenuhi. Pasalnya, kata dia, UTD PMI Ponorogo sudah memiliki alat pemisah trombosit dan setiap harinya dilakukan pengolahan darah. “Setiap hari kita lakukan pengolahan darah untuk mencukupi kebutuhan trombosit,” kata dia.
Luhur mengatakan, PMI Ponorogo juga berupaya melakukan jemput bola untuk mengumpulkan darah. Selain itu, berkoordinasi dengan PMI di daerah lain apabila sewaktu-waktu membutuhkan kantong darah maupun trombosit.
“Yang jelas kita selalu optimistis untuk memenuhi kebutuhan kantong darah, baik jemput bola maupun koordinasi dengan PMI luar daerah,” kata Luhur.
Kasus DBD
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Ponorogo Dyah Ayu Puspitaningarti mengatakan, berdasarkan data dinasnya, sejak Januari 2024 hingga saat ini terdata 13 kasus DBD. Adapun di RSU ‘Aisyiyah Ponorogo dilaporkan ada 20 pasien yang dirawat dengan diagnosis DBD.
Dyah mengatakan, data Dinkes dan rumah sakit bisa berbeda dan hal itu merupakan hal wajar. Pasalnya, kata dia, Dinkes mempunyai kriteria tertentu untuk menyatakan suatu kasus itu penyakit DBD. Misalnya, trombosit pasien sudah di bawah 100 ribu.
“Kami menentukan apakah DBD atau tidak harus sesuai dengan kriteria. Karena ini yang digunakan untuk menentukan status daerah yang bersangkutan, sehingga kami benar-benar melakukan pengetatan. Kalau rumah sakit berbeda dengan Dinkes,” ujar Dyah.
Kendati demikian, Dyah mengatakan, Dinkes tetap memantau pasien di rumah sakit maupun fasilitas kesehatan lainnya yang didiagnosis DBD. Menurut dia, seluruh laporan akan dikaji dan dianalisis dengan pendekatan epidemiologi untuk mengevaluasi sebaran kasus dan langkah penanggulangan yang diperlukan.