RUU DKJ Selangkah Lagi Disahkan di Rapat Paripurna DPR

Badan Legislasi DPR bersama pemerintah telah merampungkan pembahasan RUU DKJ.

Republika/Nawir Arsyad Akbar
Badan Legislasi (Baleg) DPR bersama pemerintah menggelar rapat pengambilan keputusan tingkat I terhadap RUU Daerah Khusus Jakarta (DKJ), di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (18/3/2024) malam.
Rep: Nawir Arsyad Akbar Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada Senin (18/3/2024) malam, mengambil keputusan tingkat I terhadap rancangan undang-undang (RUU) tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ). Artinya, RUU tersebut dapat dibawa ke rapat paripurna terdekat untuk disahkan menjadi undang-undang.

Baca Juga


"Dengan demikian saya ingin meminta persetujuan kembali dari seluruh anggota Badan Legislasi, apakah rancangan undang-undang Provinsi Daerah Khusus Jakarta bisa kita teruskan untuk pengambilan keputusan tingkat II di sidang paripurna terdekat?" tanya Ketua Baleg Supratman Andi Agtas dijawab setuju oleh anggota yang hadir, Senin (18/3/2024) malam.

Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU DKJ Achmad Baidowi menjelaskan, terdapat tujuh materi muatan utama dalam RUU tersebut. Pertama, perbaikan definisi kawasan aglomerasi dan ketentuan mengenai penunjukkan ketua dan anggota Dewan Aglomerasi oleh presiden yang tata cara penunjukannya diatur dalam peraturan presiden (perpres).

Kedua, gubernur dan wakil gubernur Daerah Khusus Jakarta dipilih lewat pemilihan kepala daerah (Pilkada). Adapun pemilihannya dipilih rakyat, di mana pasangan calon harus meraih 50 persen plus satu suara untuk menang.

"C. Penambahan alokasi dana bagi kelurahan diberikan alokasi dana yang berasal dari APBD provinsi sesuai dengan beban kerja dan wilayah administratifnya yang wajib diperuntukkan untuk menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan. Besaran mandatory spending paling sedikit 5 persen," ujar Baidowi dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I RUU DKJ.

Poin selanjutnya, kewenangan khusus dalam pendidikan berupa perizinan, kerja sama, bantuan pendanaan, pembinaan, monitoring operasional, dan pengawasan pada satuan pendidikan yang didirikan oleh masyarakat yang bekerja sama dengan lembaga pendidikan asing. Dengan penjelasan tidak termasuk pendidikan agama.

Lalu, pemajuan kebudayaan dengan prioritas pemajuan kebudayaan Betawi. Serta pembentukan dana abadi kebudayaan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

"F. Penyesuaian terkait pendapatan yang bersumber dari jenis retribusi perizinan tertentu pada kegiatan pemanfaatan ruang. Kemudian tata cara penetapan tarifnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," ujar Baidowi.

"G. Ditambahkan ketentuan lain-lain terkait pertanahan dan bank tanah," sambungnya.

 

 

Sebelumnya, pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Nirwono Yoga menyampaikan masukan sekaligus kritikan mengenai RUU DKJ. Menurutnya, RUU DKJ tak perlu dikebut secara terburu-buru karena belum jelas urgensinya. 

Nirwono memberi empat catatan mengenai RUU DKJ, terutama mengenai dewan aglomerasi yang tengah digodok saat ini di parlemen. Catatan pertama, ia menyebut kawasan aglomerasi tidak digunakan dalam konteks perkotaan tetapi yang lebih tepat kawasan metropolitan atau KM. 

Ia menyebut Bappenas dalam Visi Indonesia Perkotaan 2045 telah menetapkan 10 KM, yakni Jakarta dan sekitarnya, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Medan, Palembang, Banjarmasin, Makassar, dan Manado. 

"Khusus Jakarta/ Jabodetabekjur yang melibatkan tiga provinsi dan sembilan kota/kabupaten sehingga lebih tepat masuk kategori Kawasan Metropolitan.  Hal ini harusnya dijelaskan dalam draf RUU DKJ," kata Nirwono kepada Republika, baru-baru ini. 

Kedua, Nirwono mempertanyakan mengenai urgensi dari Dewan Aglomerasi. Ia berkaca dari sudah adanya badan yang mengelola kawasan Jabodetabek, namun tidak bekerja dengan maksimal, yakni Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabodetabekjur. 

"Dewan aglomerasi sebenarnya tidak diperlukan sekali, kita akan mengulangi ketidakefektifan, kalau tidak mau disebut kegagalan, BKSP Jabodetabekjur. Seharusnya pemerintah mengevaluasi mengapa BKSP gagal dan apa yang menjamin Dewan Aglomerasi bisa lebih baik dan pasti berhasil mengatasi persoalan Jakarta dan sekitarnya seperti banjir, kemacetan, polusi udara, transportasi massal, hunian terjangkau dan tata ruang," jelasnya. 

Ketiga, Nirwono memprediksi Dewan Aglomerasi kurang lebih akan sama dengan BKSP Jabodetabek yang tidak bisa menjalankan program-programnya. Menurutnya perlu pihak yang berkompeten mengurus perkotaan sekaligus dibutuhkan mediasi-mediasi politik yang mumpuni.

"Dewan Aglomerasi tidak akan lebih baik dari BKSP, perlu ada evaluasi mendalam lagi, seperti siapa yang bisa mengakomodinir dan berintegritasn memahami benar persoalan mendasar Jakarta dan sekitarnya, serta dukungan politik atau otonomi daerah atau kepentingan kepala daerah yang berbeda-beda parpol, manfaat dan keuntungan bersama seluruh warga Jabodetabekjur yang tidak terkotak-kotak berdasarkan KTP," paparnya.

Adapun catatan keempat yakni secara umum mengenai RUU DKJ yang dikhawatirkan disahkan secara terburu-buru. Menurutnya, tidak perlu ada langkah terburu-buru, dan lebih baik mendengarkan masukan terlebih dahulu dari berbagai pihak. Ia pun menyinggung Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) besutan Presiden RI Joko Widodo. 

"Tidak ada urgensinya pengesahan RUU DKJ secara terburu-buru dan tidak mendalam, jangan sampai kasus terulang seperti UU IKN. Lebih baik pemerintah dan DPR mendengarkan semua pihak seperti Pemda dan DPRD se-Jabodetabekjur dan perguruan tinggi dan pakar perkotaan Jakarta dan sekitar," kata dia. 

RUU DKJ, sambungnya, harus menggambarkan semangat kebersamaan Jabodetabekjur atau Jakarta Raya. Bukan hanya berfokus di Jakarta saja.

"Karena peraturan ini akan berdampak pada kehidupan masyarakat se-Jabodetabekjur. Pemerintah dan DPR masih punya cukup waktu, libatkan dan dengarkan suara warga Jabodetabekjur," tutupnya. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler