Tanpa Veto AS, Resolusi Gencatan Senjata Pun Kini Terwujud

AS memilih abstain karena frustasi dengan kelaparan yang terjadi Gaza.

EPA-EFE/SARAH YENESEL
Duta Besar China Zhang Jun (kiri) dan Duta Besar Ekuador Jose De La Gasca (kanan) mengangkat tangan untuk mendukung resolusi yang menyerukan gencatan senjata segera di Gaza, dalam pertemuan Dewan Keam
Rep: Lintar Satria Red: Setyanavidita livicansera

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Dewan Keamanan PBB meloloskan resolusi yang mendesak gencatan senjata di Gaza segera diberlakukan dan semua sandera yang masih ditawan di kantong permukiman tersebut dibebaskan. Amerika Serikat (AS) abstain sementara 14 anggota dewan mendukung resolusi yang diusulkan 10 anggota dewan terpilih itu.

Baca Juga


Ada tepuk tangan meriah di ruang dewan setelah pemungutan suara. Resolusi tersebut menyerukan gencatan senjata segera diberlakukan pada bulan Ramadhan yang akan berakhir dua pekan lagi dan menuntut semua sandera yang diculik dalam serangan mendadak Hamas pada 7 Oktober dibebaskan.

AS berkali-kali memblokir resolusi Dewan Keamanan yang menekan Israel. Tapi, semakin frustasi dengan sekutunya karena korban jiwa dari warga sipil terus bertambah dan PBB memperingatkan terjadinya kelaparan di Gaza. "Kami tidak setuju dengan semua resolusi tersebut," kata Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield mengenai alasan mengapa AS abstain, seperti dikutip dari Aljazirah, Senin (25/3/2024).

“Beberapa perubahan penting diabaikan, termasuk permintaan kami untuk menambahkan kecaman terhadap Hamas,” kata Thomas-Greenfield usai pemungutan suara. Ia menekankan pembebasan sandera Israel akan meningkatkan pasokan bantuan kemanusiaan ke Gaza. Gedung Putih mengatakan resolusi akhir tidak memiliki bahasa yang AS anggap penting dan pilihan Washington untuk abstain tidak mewakili perubahan kebijakannya.  

Namun, kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan, kegagalan AS memveto resolusi itu merupakan "ancaman jelas" dari posisi sebelumnya dan akan merugikan upaya perang melawan Hamas serta pembebasan sandera yang masih ditawan di Gaza. Kantornya juga mengatakan Netanyahu tidak akan mengirimkan delegasi tingkat tinggi ke Washington.

Presiden AS Joe Biden meminta bertemu dengan pejabat Israel untuk membahas rencana Israel menggelar invasi ke Rafah. Kota paling selatan Jalur Gaza yang kini menampung lebih dari satu juta pengungsi dari daerah lain.

Juru bicara Gedung Putih John Kirby mengatakan AS "kecewa" dengan keputusan Netanyahu. "Kami sangat kecewa karena mereka tidak akan datang ke Washington, DC, untuk mengizinkan kami melakukan pembicaraan yang mendalam dengan mereka tentang alternatif yang layak bagi mereka untuk terjun ke lapangan di Rafah," kata Kirby kepada para wartawan.

Ia mengatakan, pejabat senior AS masih akan bertemu untuk melakukan pembicaraan terpisah dengan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant, yang saat ini berada di Washington. Pertemuan itu akan membahas isu termasuk sandera, bantuan kemanusiaan dan upaya melindungi warga sipil di Rafah.

Pekan lalu, Netanyahu berjanji untuk menentang himbauan AS dan memperluas kampanye militer Israel ke Rafah meskipun tanpa dukungan sekutunya. Aljazirah melaporkan hasil pemungutan suara merupakan perkembangan signifikan dalam perang yang sudah berlangsung selama hampir enam bulan. AS memveto tiga resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata. Resolusi Dewan Keamanan PBB mengikat bagi semua anggota PBB.

Di media sosial X, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan resolusi ini "harus diimplementasikan." Ia menambahkan kegagalan mengimplementasikannya "tidak bisa dimaafkan."

Pemungutan suara digelar saat seruan masyarakat internasional agar Israel mengakhiri serangannya ke Gaza semakin menguat. Ketika kondisi kemanusiaan di kantong pemukiman itu mencapai titik kritis.

PBB mengatakan lebih dari 90 persen 2,3 juta populasi Gaza mengungsi dan hidup di tengah pengepungan dan pengeboman Israel yang membawa warga kantong pemukiman itu ke jurang kelaparan.

Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan serangan Israel ke Gaza sudah menewaskan lebih dari 32 ribu orang. Sebagian besar perempuan dan anak-anak. Israel menyerang Gaza setelah Hamas menggelar serangan mendadak pada 7 Oktober lalu. Israel mengklaim Hamas membunuh 1.200 orang dan menculik 250 lainnya dalam serangan 7 Oktober itu.

Para pemimpin Palestina menyambut baik pengesahan resolusi tersebut, dan mengatakan ini merupakan langkah ke arah yang benar. "Ini harus menjadi titik balik," kata Duta Besar Palestina Riyad Mansour kepada Dewan Keamanan PBB, sambil menahan air mata. "Ini harus menandakan berakhirnya serangan ini, kekejaman terhadap rakyat kami," tambahnya.

Dalam pernyataannya Kementerian Luar Negeri Palestina meminta negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB untuk memenuhi tanggung jawab hukum mereka untuk segera mengimplementasikan resolusi tersebut.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler