Film 8 Warriors, Cinta dan Tanah Air Angkat Kisah Nyata Peristiwa 10 November 1945
Film ini menceritakan sebuah peristiwa nyata pada 10 November 1945.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Rumah produksi Golden Picture memulai tahap produksi film 8 Warriors, Cinta dan Tanah Air. Film ini menceritakan sebuah peristiwa nyata pada 10 November 1945, tentang delapan orang sahabat pejuang.
Peristiwa itu merupakan revolusi terbesar dan paling kelam sepanjang sejarah perang Indonesia. Film ini dijanjikan akan tergambar secara epik dengan mengandalkan perpaduan teknis antara real shot dengan sentuhan teknologi visual canggih.
Latar cerita film dipilih di rumah Lodji Besar, Kampung Peneleh Surabaya, Jawa Timur, sebuah kawasan kampung Sejarah di mana para tokoh bangsa lahir di sana, seperti Soekarno, HOS Cokroaminoto, Roeslan Abdulgani, dan beberapa tokoh lainnya. “Proyek yang sedang kami realisasikan ini bukan film biasa seperti yang pernah dibuat sebelumnya di dalam negeri. Tentu secara otomatis membutuhkan biaya yang memadai sesuai konsep besarnya,” ujar produser Reyniel Fero, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (27/3/2024).
Bisa dikatakan, film ini adalah versi paling mewakili arek-arek Suroboyo yang begitu gagah berani mengorbankan nyawa demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang baru saja diraih. Bangsa asing menyebut perang tersebut adalah salah satu tragedi paling kelam yang pernah terjadi di dunia.
Para pejuang bagaikan gelombang besar tanpa henti yang terus melawan tentara sekutu di kota Surabaya, hingga menelan puluhan ribu korban jiwa dan tewasnya para petinggi sekutu. Film yang dipastikan epik dan kolosal ini, dipercayakan pada duo sutradara Jaya Tamalaki dan Djo Arko.
“Cerita film ini sebenarnya sudah selesai kami tulis tahun lalu. Kronologis peristiwa dan peran tokoh-tokoh besar lainnya juga ditampilkan dengan runut dalam film nanti. Kemasan kreatif juga dibuat semenarik mungkin agar menjadi tontonan film sejarah yang fresh dan tidak membosankan,” kata Jaya.
Film ini diharapkan bisa menjadi salah satu pemantik jiwa nasionalisme dan cinta Tanah Air para generasi muda, yang saat ini hampir terdegradasi oleh serbuan tayangan asing yang dominan. Sehingga mengancam identitas kebangsaan, budaya, dan nasionalisme.
Djo Arko yang berpenampilan nyentrik mengatakan, film ini memiliki tingkat kesulitan tinggi yang harus disikapi dengan serius. Seperti menghadirkan kembali environment kota Surabaya pada masa lampau berikut suasana perang besarnya yang dilakoni oleh ribuan orang baik di darat, laut, maupun udara.
“Tantangan berat ini perlu konsep matang, yang dipastikan akan memaduan teknis real shoot dengan teknologi visual modern atau yang populer disebut dengan CGI (Computer Generated Imagery). Saya percaya pada tim kami, akan mampu merealisasikan film mendekati suasana aslinya,” kata Djo.
Keseriusan Golden Picture menghadirkan film kolosal kebangsaan yang berkualitas, tampaknya benar-benar dipersiapkan dengan matang. Selain melakukan perekrutan tim para sineas yang profesional, tim produksi juga berani membuat studio alam untuk membangun berbagai set sudut kota Surabaya dan beberapa gedung penting yang melekat pada peristiwa perang nanti.