Badan Antariksa Eropa akan Luncurkan Satelit Cuaca

Satelit cuaca di Arktik akan diluncurkan pada Juni mendatang.

Independent
Badan Antariksa Eropa (ESA) mengatakan bahwa mereka akan meluncurkan sebuah satelit yang akan meningkatkan prakiraan cuaca.
Rep: Gumanti Awaliyah Red: Nora Azizah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Antariksa Eropa (ESA) mengatakan bahwa mereka akan meluncurkan sebuah satelit yang akan meningkatkan prakiraan cuaca di Arktik atau Kutub Utara. Satelit tersebut dijadwalkan untuk meluncur pada Juni.

Baca Juga


Satelit Cuaca Arktik (Arctic Weather Satellite/AWS) dirancang selama tiga tahun oleh perusahaan kedirgantaraan Eropa, OHB.

Satelit tersebut, yang akan diluncurkan oleh roket SpaceX yang lepas landas dari California, memiliki berat 125 kilogram dan panjang 5,3 meter dengan sayap terbuka.

Menteri Pendidikan Swedia, Mats Persson, mengatakan bahwa misi ini sangat pentinig untuk penelitian tentang pemanasan global.

"Mitigasi perubahan iklim adalah prioritas. Adapun data ruang angkasa sangat penting untuk menganalisis perubahan dan mengidentifikasi solusi yang efektif," kata Persson seperti dilansir Phys, Jumat (5/4/2024).

Dengan masa pakai sekitar lima tahun, satelit ini akan mendukung satelit lain yang sudah berada di orbit. ESA optimis, satelit ini dapat memberikan prakiraan cuaca jangka pendek yang akurat untuk wilayah Kutub Utara.

Kutub Utara memanas lebih cepat daripada bagian bumi lainnya. Gletser, hutan, serta tanahnya yang beku dan kaya karbon terancam mengalami perubahan yang tidak dapat dipulihkan, sehingga berpotensi menimbulkan dampak di seluruh dunia.

"Misi AWS juga merupakan bukti kerja sama Eropa. Ini adalah wilayah yang secara geopolitik menjadi lebih sulit, terutama karena perang di Ukraina. Inilah sebabnya mengapa kemandirian Eropa dalam hal infrastruktur ruang angkasa harus dijamin melalui kolaborasi semacam ini,” kata Persson.

Wilayah Rusia mencakup hampir setengah dari daratan Kutub Utara. Sejak perang di Ukraina dimulai pada 2022, kurangnya kerja sama antara Moskow dan negara-negara Barat telah menyebabkan para peneliti kehilangan sejumlah besar data.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler