Penggunaan Lagu K-Pop di Indonesia Kini Perlu Izin, Apa Kata Pengamat Musik?

Pengelolaan hak cipta lintas negara menjadi hal yang penting dalam dunia musik.

AP Photo/Korea Pool
Grup K-pop NCT Dream.
Rep: Umi Nur Fadhilah Red: Qommarria Rostanti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wahana Musik Indonesia (Wami) memberikan peringatan penting kepada seluruh WAMInity terkait penggunaan lagu-lagu Korea di Indonesia. Korean Music Copyright Association (KOMCA) mengeluarkan surat pernyataan yang menekankan pengguna musik di Indonesia diwajibkan memperoleh izin atau lisensi dari Wami jika ingin menggunakan lagu-lagu Korea.

Baca Juga


“Baru-baru ini, KOMCA (Korean Music Copyright Association) mengeluarkan surat pernyataan yang menyatakan bahwa pengguna musik di Indonesia wajib meminta izin atau lisensi dari Wami jika ingin menggunakan lagu-lagu Korea,” tulis Wami di halaman Instagram-nya, beberapa waktu lalu.

Hal ini menandakan bahwa pengelolaan hak cipta lintas negara menjadi hal yang sangat penting dalam dunia musik saat ini. Dengan adanya peraturan ini, Wami mengingatkan agar setiap individu atau entitas yang ingin menggunakan lagu-lagu Korea dalam proyek musik atau konten lainnya untuk memperoleh izin resmi dari Wami.

Ini tidak hanya merupakan kewajiban hukum, tetapi juga cara untuk menghargai karya seni dan hak cipta para pencipta lagu. “Pastikan segala penggunaan lagu dilakukan dengan mematuhi aturan dan hak cipta yang berlaku,” tulis Wami.

Pengamat musik, hukum, dan mantan Komisioner LMKN periode 2019-2024, Marulam J Hutauruk, menjelaskan pengelolaan hak cipta lagu di Indonesia bukanlah hal baru. Dasar koleksi royalti atau lisensi untuk public performance seperti pemutaran lagu di tempat umum, telah diatur sejak lama. 

Dalam konteks hukum koleksi royalti, public performance di Indonesia diurus oleh LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional). Namun, sebelum tahun 2014, koleksi royalti ini dikelola oleh LMK (Lembaga Manajemen Kolektif) sebelum kemudian dialihkan kepada LMKN sesuai dengan Undang-Undang 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Proses pengumpulan royalti dilakukan oleh LMKN, yang kemudian akan mendistribusikannya kepada LMK yang terkait untuk kemudian dibagikan kepada para pencipta lagu. Setiap LMK memiliki standar minimum royalti yang akan diberikan kepada penciptanya. Meskipun lagu-lagu mungkin tidak pernah diputar di tempat umum, anggota LMK tetap akan menerima royalti minimum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Marulam menjelaskan bahwa proses perizinan lisensi untuk penggunaan lagu-lagu dalam public performance tidaklah rumit. Restoran atau tempat umum hanya perlu membayar royalti berdasarkan jumlah kursi yang ada di tempat tersebut, sesuai dengan keputusan menteri tahun 2016. Hal ini memberikan kemudahan bagi pengusaha dalam mematuhi kewajiban hukum terkait penggunaan musik di tempat umum.

“Jadi orang muter lagu Korea gitu, ya sudah tinggal membayar saja. Itu kursi tadi tuh kalau restoran,” ujar Marulam.

Dalam konteks bilateral, Marulam menyebut adanya perjanjian antara Wami dengan Komca Korea, yang memungkinkan pengelolaan hak cipta lagu antarnegara. Namun, ia menekankan bahwa kewajiban hukum dan pembayaran royalti berlaku secara otomatis ketika musik diputar di tempat umum, tanpa memandang asal lagu tersebut.

“Bayar dan license. Sudah selesai. Kalau tidak bayar itu melanggar. Kalau bayar, tidak melanggar. Bayarnya berapa sudah ditentukan oleh pemerintah,” kata Marulam.

Marulam menegaskan, kesadaran akan hukum dalam pengelolaan hak cipta di Indonesia masih kurang, dan bahwa pengelolaan hak cipta lagu ini sebenarnya tidak rumit. Dengan membayar royalti sesuai dengan ketentuan yang berlaku, kita dapat mendukung industri musik secara adil dan bertanggung jawab.

Nggak ada kaitan mau Korea, mau Italia, mau Jepang. Ada suara speaker itu ya, suara-suara misalnya. Itu langsung kewajiban hukum itu otomatis,” ujar Marulam.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler