Serangan Iran ke Israel Mengganggu Penerbangan Global
Selama dua hari terakhir satu lusin maskapai membatalkan atau mengubah rute terbang.
REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Serangan drone dan rudal Iran ke Israel menimbulkan gangguan pada penerbangan maskapai-maskapai global. Serangan juga mempersempit opsi jalur penerbangan antara Eropa dan Asia.
Lebih dari 300 drone dan rudal yang diluncurkan Iran ke Israel ditembak jatuh dengan sistem pertahanan udara. Namun, serangan balasan Iran atas serangan udara Israel ke kantor konsulat Iran di Suriah itu tetap menyebabkan gangguan pada industri penerbangan.
Selama dua hari terakhir setidaknya satu lusin maskapai termasuk Qantas, Lufthansa, United Airlines, dan Air India harus membatalkan atau mengubah rute penerbangannya.
Pendiri organisasi pemantau maskapai dan bandara OPSGROUP Mark Zee mengatakan ini gangguan penerbangan tunggal terbesar sejak peristiwa 11 September 2001. "Sejak itu kami belum pernah mengalami situasi di mana begitu banyak ruang udara yang berbeda ditutup secara berurutan, dan hal ini menciptakan kekacauan," kata Zee pada Ahad (14/4/2024), yang dilansir laman Reuters.
Ia menambahkan kemungkinan gangguan akan berlangsung selama beberapa hari. Masalah perubahan rute terbaru menjadi pukulan keras bagi industri penerbangan yang sudah menghadapi pembatasan akibat konflik Israel di Gaza dan invasi Rusia di Ukraina.
Ruang udara Iran biasanya digunakan untuk perjalanan antara Eropa dan Asia. Zee mengatakan maskapai akan membatasi opsi penerbangan pada dua rute yang masih tersedia yakin melalui Turki via Mesir dan Arab Saudi.
Israel menutup ruang udaranya pada Sabtu (13/4/2024) sebelum dibuka kembali pada Ahad pagi. Yordania, Irak, Lebanon juga sudah mengizinkan kembali penerbangan di atas wilayahnya.
Maskapai-maskapai besar Timur Tengah, seperti Emirates Airlines, Qatar Airways, dan Etihad Airways, mengatakan mereka akan kembali beroperasi di wilayah tersebut setelah membatalkan atau mengalihkan beberapa penerbangan.
Analisis penerbangan independen Brendan Sobie mengatakan masih belum jelas apakah gangguan terbaru ini akan berdampak pada permintaan penumpang, yang tetap kuat meskipun ada konflik yang sedang berlangsung di Ukraina dan Gaza.
"Jika situasi politik dan konflik terus meningkat maka pada suatu saat orang akan khawatir untuk bepergian, namun sejauh ini hal itu belum terjadi," kata Sobie.