Mantan Kepala Rutan KPK yang Jadi di Kasus Pungli Ajukan Praperadilan
KPK mengungkap 15 tersangka pungli rutan akan dibawa ke ranah pidana.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Eks Kepala Rumah Tahanan (Karutan) KPK Achmad Fauzi mengajukan keberatan atas penetapan tersangka di kasus dugaan pungli rutan KPK. Fauzi lantas menempuh jalur praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) melawan KPK.
Berdasarkan laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jaksel, Fauzi mendaftarkan permohonan praperadilan pada 5 April 2024. Permohonan tersebut telah terdaftar dengan nomor perkara: 46/Pid.Pra/2024/PN JKT.SEL.
"Klasifikasi perkara sah atau tidaknya penetapan tersangka," tulis laman SIPP PN Jaksel yang dikutip pada Selasa (16/4/2024).
Walau demikian, SIPP PN Jaksel belum menampilkan petitum permohonan praperadilan itu. PN Jaksel mengagendakan sidang perdana pada 22 April 2024. Perkara ini bakal diadili oleh hakim tunggal Agung Sutomo Thoba.
Sementara itu, KPK sudah siap melawan praperadilan tersebut. Sebab KPK menjamin proses hukum yang dilakukan terhadap Fauzi sudah didasarkan ketentuan syarat formil administrasi penyidikan KPK.
"KPK tentu siap hadapi gugatan Praperadilan oleh tersangka dimaksud," ujar Juru Bicara KPK Ali Fikri.
Sebelumnya, KPK mengungkap sebanyak 15 tersangka pungutan liar (pungli) di rumah tahanan (rutan) KPK sendiri akan dibawa ke ranah pidana.
Sebanyak 15 tersangka yaitu Kepala Rutan KPK Achmad Fauzi dan pegawai negeri sipil (PNS) Pemprov DKI Jakarta Hengki. Lalu ada enam pegawai negeri yang ditugaskan (PNYD) di KPK Deden Rochendi, Sopian Hadi, Ristanta, Ari Rahman Hakim, Agung Nugroho, dan Eri Angga Permana.
Sedangkan tujuh orang lainnya ialah petugas pengamanan Rutan cabang KPK yaitu Muhammad Ridwan, Suparlan, Ramadhana Ubaidillah A, Mahdi Aris, Wardoyo, Muhammad Abduh, dan Ricky Rachmawanto. Semua tersangka ditahan di Rutan Polda Metro Jaya.
Tercatat, pungli ini terjadi mulai 2019 hingga 2023. KPK mengestimasi uang haram yang diraup para pegawai mencapai Rp 6,3 miliar.
Para tersangka ini disebut KPK melanggar Pasal 12 huruf e Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.