Tafsir Surat Al Hujurat Ayat 12: Allah Melarang Umatnya Mencari Kesalahan Orang Lain
Berburuk sangka terhadap orang mukmin adalah suatu dosa besar.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menjauhi buruk sangka. Allah memberi peringatan kepada orang-orang yang beriman supaya mereka menjauhkan diri dari prasangka terhadap orang-orang yang beriman.
Jika mereka mendengar sebuah ucapan yang keluar dari mulut saudaranya yang mukmin, maka ucapan itu harus mendapat tanggapan yang baik, dengan ungkapan yang baik, sehingga tidak menimbulkan salah paham, apalagi menyelewengkannya sehingga menimbulkan fitnah dan prasangka.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Surat Al Hujurat ayat 12
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ
Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. (Al-Hujurat [49]:12)
Dalam tafsir Tahlili Kementerian Agama, ‘Umar r.a. berkata, “Jangan sekali-kali kamu menerima ucapan yang keluar dari mulut saudaramu, melainkan dengan maksud dan pengertian yang baik, sedangkan kamu sendiri menemukan arah pengertian yang baik itu.”
Diriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa sesungguhnya Allah mengharamkan dari orang mukmin darah dan kehormatannya sehingga dilarang berburuk sangka di antara mereka. Adapun orang yang secara terang-terangan berbuat maksiat, atau sering dijumpai berada di tempat orang yang biasa minum minuman keras hingga mabuk, maka buruk sangka terhadap mereka itu tidak dilarang.
Selanjutnya...
Imam al-Baihaqī dalam kitabnya Syu‘abul Iman meriwayatkan sebuah aṡar dari Sa‘īd bin al-Musayyab sebagai berikut.
كَتَبَ اِلَيَّ بَعْضُ اِخْوَانِى مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ صَنِّعْ أَمْرَ أَخِيْكَ عَلَى أَحْسَنِهِ مَا لَمْ يَأْتِكَ مَا يَغْلِبُكَ وَلاَ تَظُنَّنَّ بِكَلِمَةٍ خَرَجَتْ مِنِ امْرِئٍ مُسْلِمٍ شَرًّا وَأَنْتَ تَجِدُ لَهُ فِى الْخَيْرِ مَحْمَلاً وَمَنْ عَرَضَ نَفْسَهُ لِلتُّهَمِ فَلاَ يَلُوْمَنَّ اِلاَّ نَفْسَهُ وَمَنْ كَتَمَ سِرَّهُ كَانَتِ الْخِيْرَةُ فِى يَدِهِ وَمَا كَافَأْتَ مَنْ عَصَى الله تَعَالَى فِيْكَ بِمِثْلِ أَنْ تُطِيْعَ اللهَ فِيْهِ وَعَلَيْكَ بِاِخْوَانِ الصِّدْقِ فَكُنْ فِى اكْتِسَابِهِمْ فَاِنَّهُمْ زِيْنَةٌ فِى الرَّخَاءِ وَعُدَّةٌ عِنْدَ عَظِيْمِ اْلبَلاَءِ وَلاَ تَتَهَاوَنْ بِالْحَلْفِ فَيُهِيْنَكَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ تَسْأَلَنَّ عَمَّا لَمْ يَكُنْ حَتَّى يَكُوْنُ وَلاَ تَضَعْ حَدِيْثَكَ اِلاَّ عِنْدَ مَنْ يَشْتَهِيْهِ وَعَلَيْكَ بِالصِّدْقِ وَاِنْ قَتَلَكَ وَاعْتَزِلْ عَدُوَّكَ وَاحْذَرْ صَدِيْقَكَ اِلاَّ الاَمِيْنَ وَلاَ اَمِيْنَ اِلاَّ مَنْ خَشِيَ اللهَ وَشَاوِرْ فِى اَمْرِكَ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ. (رواه البيهقي)
Beberapa saudaraku di antara sahabat Rasulullah saw telah menyampaikan sebuah tulisan kepadaku yang berisi beberapa petunjuk, di antaranya, “Kerjakanlah urusan saudaramu dengan sebaik-baiknya selagi tidak datang kepadamu urusan yang mengalahkanmu dan jangan sekali-kali engkau memandang buruk perkataan yang pernah diucapkan oleh seorang muslim, jika engkau menemukan tafsiran yang baik pada ucapannya itu. Siapa yang menempatkan dirinya di tempat tuduhan buruk, maka janganlah ia mencela, kecuali kepada dirinya sendiri. Dan siapa yang menyembunyikan rahasianya, maka pilihan itu berada di tangannya, dan kemaksiatan seseorang kepada Allah pada diri kamu, tidak akan mengimbangi ketaatanmu kepada Allah pada orang tersebut. Hendaklah engkau selalu bersahabat dengan orang-orang yang benar sehingga engkau berada di dalam lingkup budi pekerti yang mereka upayakan, karena mereka itu menjadi perhiasan dalam kekayaan dan menjadi perisai ketika menghadapi bahaya yang besar. Dan jangan sekali-kali meremehkan sumpah agar kamu tidak dihinakan oleh Allah. Dan jangan sekali-kali bertanya tentang sesuatu yang belum ada sehingga berwujud terlebih dahulu dan jangan engkau sampaikan pembicaraan kecuali kepada orang yang mencintainya. Dan tetaplah berpegang kepada kebenaran walaupun kamu akan terbunuh olehnya. Hindarilah musuhmu dan tetaplah menaruh curiga kepada kawanmu, kecuali orang yang benar-benar sudah dapat dipercaya, dan tidak ada yang dapat dipercaya kecuali orang yang takut kepada Allah. Dan bermusyawarahlah dalam urusanmu dengan orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka dalam keadaan gaib.” (Riwayat al-Baihaqī)
Kemudian Allah menerangkan bahwa orang-orang mukmin wajib menjauhkan diri dari prasangka karena sebagian prasangka itu mengandung dosa. Berburuk sangka terhadap orang mukmin adalah suatu dosa besar karena Allah nyata-nyata telah melarangnya.
Selanjutnya...
Selanjutnya, Allah melarang kaum mukmin mencari-cari kesalahan, kejelekan, noda, dan dosa orang lain. Abū Hurairah meriwayatkan sebuah hadis sahih sebagai berikut:
اِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَاِنَّ الظَّنَّ اَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَجَسَّسُوْا وَلاَ تَحَسَّسُوْا وَلاَ تَنَاجَشُوْا وَلاَ تَبَاغَضُوْا وَلاَ تَحَاسَدُوْا وَلاَ تَدَابَرُوْا وَكُونُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا. (رواه البخاري عن أبي هريرة)
Jauhilah olehmu berburuk sangka, karena berburuk sangka itu termasuk perkataan yang paling dusta. Dan jangan mencari-cari kesalahan orang lain, jangan buruk sangka, jangan membuat rangsangan dalam penawaran barang, jangan benci-membenci, jangan dengki-mendengki jangan belakang-membelakangi, dan jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (Riwayat al-Bukhārī dari Abū Hurairah)
Diriwayatkan pula oleh Aḥmad dari Abū Barzah al-Aslamī, Rasulullah saw bersabda:
يَا مَعْشَرَ مَنْ اٰمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ اْﻹِيْمَانُ قَلْبَهُ لاَ تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِيْنَ وَلاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ يَّتَّبِعْ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِيْ بَيْتِهِ. (رواه أحمد عن أبي برزه اﻷسلمى)
Wahai orang-orang yang beriman dengan lidahnya, tetapi iman itu belum masuk ke dalam hatinya, jangan sekali-kali kamu bergunjing terhadap kaum muslim, dan jangan sekali-kali mencari-cari aib-aib mereka. Karena siapa yang mencari-cari aib kaum muslim, maka Allah akan membalas pula dengan membuka aib-aibnya. Dan siapa yang dibongkar aibnya oleh Allah, niscaya Dia akan menodai kehor-matannya dalam rumahnya sendiri.” (Riwayat Aḥmad dari Abū Barzah al-Aslamī)
Hasan, cucu Nabi, berkata bahwa bergunjing itu ada tiga macam, ketiganya disebutkan dalam Alquran, yaitu gībah, ifk, dan buhtān. Gībah atau bergunjing, yaitu menyebut-nyebut keburukan yang ada pada orang lain. Adapun ifk adalah menyebut-nyebut seseorang mengenai berita-berita yang sampai kepada kita, dan buhtān atau tuduhan yang palsu ialah bahwa menyebut-nyebut kejelekan seseorang yang tidak ada padanya.
Tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama bahwa bergunjing ini termasuk dosa besar, dan diwajibkan kepada orang yang bergunjing supaya segera bertobat kepada Allah dan meminta maaf kepada orang yang bersangkutan.
Mu‘āwiyah bin Qurrah berkata kepada Syu‘bah, “Jika seandainya ada orang yang putus tangannya lewat di hadapanmu, kemudian kamu berkata ‘Itu si buntung,’ maka ucapan itu sudah termasuk bergunjing.”
Allah mengemukakan sebuah perumpamaan supaya terhindar dari bergunjing, yaitu dengan suatu peringatan yang berbentuk pertanyaan, “Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging bangkai saudaranya? Tentu saja kita akan merasa jijik memakannya. Oleh karena itu, jangan menyebut-nyebut keburukan seseorang ketika ia masih hidup atau sudah mati, sebagaimana kita tidak menyukai yang demikian itu, dalam syariat hal itu juga dilarang.”