Ukuran Kebahagiaan Berbeda-beda, Jangan Pakai Standar Orang Lain

Orang bisa mencapai bahagia tanpa syarat jika tak membandingkan kehidupannya.

Republika/Prayogi
Perempuan bersedih dan menangis (ilustrasi). Ukuran kebahagiaan tiap orang tentu berbeda-beda.
Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat dianjurkan untuk menghentikan  kebiasaan mengukur kebahagiaan berdasarkan standar orang lain. Hal itu menjadi kunci untuk bisa mencapai bahagia tanpa syarat.

Psikiater dari RSUD Tarakan Jakarta, Zulvia Oktanida Syarif, menjelaskan, faktor penghambat kebahagiaan kerap berasal dari diri sendiri. Salah satunya ketika muncul tekanan dalam diri untuk bisa mencapai sesuatu dengan menjadikan kebahagiaan orang lain sebagai standar ukur.

Baca Juga



"Misalnya usia segini mestinya sudah menikah, usia sekian mestinya sudah bekerja. Kemudian kalau sudah menikah, mestinya sudah hamil, begitu. Jadi banyak sekali standar-standar sosial yang menjadi tekanan, itu akan menghambat orang menjadi bahagia," kata dr Zulvia yang akrab disapa dr Vivi dalam seminar edukasi yang digelar Dinas Kesehatan DKI Jakarta di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Ahad (28/4/2024).

Sementara itu, dr Yenny Sinambela SpKJ(K) dari Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Duren Sawit Jakarta menjelaskan bahwa ukuran kebahagiaan orang lain tentu berbeda. Sebab, tiap manusia memiliki keunikannya sendiri-sendiri yang bisa dipandang sebagai kelebihan maupun kekurangan.

"Permasalahan muncul ketika kita menghadapi hal-hal yang di luar ekspektasi tertentu. Untuk merasa bahagia, seseorang mesti belajar untuk menerima kalau dirinya unik, sehingga bisa melihat sisi positifnya, tidak terpaku pada sisi negatifnya saja," kata dr Yenny.

Di era internet seperti sekarang, sangat mudah untuk memberikan ekspektasi-ekspektasi tertentu sebagai standar kebahagiaan. Alhasil, banyak sekali penghambat yang membuat seseorang merasa tidak bahagia.

Misalnya, flexing atau aktivitas pamer barang mewah atau hidup mewah lewat media sosial. Hal itu berdampak pada ukuran kebahagiaan menjadi berdasarkan materi. Padahal, kenyataannya tidak selalu seperti itu.

Penyelenggaraan Jakarta Berjaga oleh Dinkes DKI Jakarta menjadi salah satu sarana penyadaran masyarakat untuk peduli dengan kebahagiaannya sendiri. Hal itu agar permasalahan kesehatan mental di Jakarta berkurang.

Jakarta masuk ke dalam daftar 10 kota dengan tingkat stres tertinggi di dunia, berdasarkan laporan The Least and Most Stressful Cities Index tahun 2021. Riset global yang lain dalam Health Service Monitoring 2023 yang menyurvei pandangan 23.274 responden dewasa yang tersebar di 31 negara pada periode 21 Juli-4 Agustus 2023 menyatakan bahwa kesehatan mental menjadi masalah kesehatan yang paling mengkhawatirkan, di atas kanker.
 
Oleh sebab itu, Dinkes DKI Jakarta menyelenggarakan Jakarta Berjaga (Berjaga akronim dari Bergerak, Bekerja, Berolahraga dan Bahagia). Salah satu poin acaranya ialah seminar edukasi kepada masyarakat mengenai cara mencapai bahagia.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler