Kalau Beda Agama, Apakah Pernikahan Rizky Febian-Mahalini Sah Menurut Islam?
Mahalini akan memeluk Islam sebelum menikah dengan Rizky Febian pada 8 Mei 2024.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasangan penyanyi Rizky Febian dan Mahalini akan menggelar prosesi pernikahan pada 8 Mei 2024. Mereka telah menggelar rangkaian upacara adat di Bali pada 5 Mei 2024 sebelum ijab-qabul di Jakarta.
Selama ini, diketahui secara meluas bahwa Rizky Febian memeluk agama Islam, sementara Mahalini menganut agama Hindu. Dalam pernyataan videonya pada Ahad, komedian Sule sebagai ayah Rizky menjelaskan bahwa Mahalini telah menjalani ritual adat Bali mepamit agar mendapat izin keluarga dan leluhurnya untuk menjadi mualaf.
Andaikan ada yang menikah beda agama, bagaimana hukumnya menurut Islam? Ulama KH Muhammad Cholil Nafis lewat akun X (sebelumnya disebut Twitter) miliknya, @cholilnafis, mengulas hal tersebut. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat 2020-2025 itu menyebut hukum pernikahan beda agama sebagai tidak sah.
"Nikah beda agama kalau menurut Islam itu tidak sah, sedangkan pemerintah itu hanya pencatatan nikah bukan mengesahkan akad nikahnya. Artinya, perkawinan beda agama itu saat hubungan suami istri sama dengan berzina menurut ajaran Islam," kata Kiai Cholil.
Dosen UIN Syarif Hadayatullah dan Universitas Indonesia itu menjelaskan bahwa para ulama sepakat bahwa perempuan Muslimah tidak sah menikah dengan non-Muslim. Sementara, laki-laki Muslim jika menikah dengan non-Muslimah hukumnya berbeda pendapat.
"Ada yang membolehkan, juga ada yang melarangnya, tapi ulama muatahir mengharamkan. MUI, Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah melarangnya," tutur pria yang menjabat sebagai Rais Syuriyah PB NU pada 2022-2027 tersebut.
Pengasuh Pesantren Cendekia Amanah, Depok, itu juga mencantumkan penjelasan lengkap yang dia paparkan di situs cholilnafis.com. Di Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Kedua produk perundang-undangan tersebut mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan, termasuk perkawinan antar agama. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1) disebutkan: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu".
Dalam rumusan ini diketahui bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Hal senada diterangkan beberapa pasal dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, termasuk pasal empat, pasal 40, serta pasal 44.
Tentunya, peraturan dan undang perkawinan itu menyerap dari hukum Islam. Dalam Alquran surat Al Baqarah ayat 221, Allah SWT melarang pernikahan beda agama dan sama sekali tak membuka peluang disahkan. Begitu pula dalam Alquran surat Al-Mumtahanah ayat 10 menjelaskan bahwa haram hukumnya seorang Muslim menikah dengan orang kafir.
Sementara itu, dalam Alquran surat Al Maidah ayat lima memberi peluang pernikahan beda agama, yaitu bagi laki-laki Muslim boleh menikah dengan ahli kitab, yakni kaum Yahudi dan Nasrani. Al-Nawawy menjelaskan bahwa menurut Imam al-Syafi’i, laki-laki Muslim boleh menikahi perempuan kitabiyah tersebut apabila mereka beragama menurut Taurat dan Injil sebelum diturunkannya Alquran.
Dengan catatan, mereka tetap beragama menurut kitab sucinya. Sementara menurut tiga madzhab lainnya, Hanafi, Maliki, dan Hambali, laki-laki Muslim boleh menikahi wanita kitabiyah bersifat mutlak, meski agama ahli kitab tersebut telah dinasakh (diubah).
MUI telah mengeluarkan fatwa tentang hukum larangan pernikahan beda agama, yakni dalam keputusan MUI nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005. Fatwa itu berbunyi, perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita ahli kitab, menurut qaul mu’tamad adalah haram dan tidak sah.
Kesimpulannya, pernikahan beda agama antara Muslimah dengan laki-laki non-Muslim hukumnya tidak sah menurut kesepakatan para ulama salaf dan khalaf. Pernikahan beda agama antara laki-laki Muslim dengan wanita kitabiyah (Yahudi dan Nasrani) terdapat perbedaan pendapat antara para ulama, ada yang mengatakan boleh dan ada yang melarangnya.
"Namun, keputusan ulama Indonesia yang tergabung di organisasi MUI, NU, dan Muhammadiyah sepakat melarang pernikahan beda agama secara mutlak, baik Muslim maupun Muslimah," tutur Kiai Cholil.