Produktivitas Kedelai di Banyumas Diharapkan Capai 1,5-1,7 Ton per Hektare

Dinas Pertanian menyebut ada sejumlah kendala tanam kedelai di Banyumas.

ANTARA/Prasetia Fauzani
(ILUSTRASI) Petani menanam kedelai menggunakan alat tanam benih.
Rep: Antara Red: Irfan Fitrat

REPUBLIKA.CO.ID, BANYUMAS — Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, mendorong petani untuk menanam kedelai pada musim kemarau 2024 ini. Luas tanam kedelai diharapkan setidaknya bisa mencapai 2.000 hektare.

Baca Juga


“Kedelai ini memang ditanam saat musim sadon (gadu/kemarau), setelah tanam kedua,” kata Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Banyumas Jaka Budi Santosa, Sabtu (4/5/2024).

Menurut Jaka, sebagian petani yang biasa menanam kedelai di daerah-daerah tertentu terkadang memastikan terlebih dahulu masih ada hujan atau tidak. Jika diperkirakan tidak ada hujan, kata dia, petani berupaya memastikan apakan ada saluran irigasi yang dapat menjamin menjamin ketersediaan air hingga tanaman kedelai dapat dipanen. 

“Oleh karena itu, luas tanam kedelai di Banyumas yang selama ini 2.000 hektare, harapan saya pada musim sadon ini bisa mencapai 2.000 hektare lagi, dengan produktivitas berkisar 1,5 ton hingga 1,7 ton per hektare,” kata Jaka.

Ihwal disparitas harga kedelai lokal dengan kedelai impor yang cukup tinggi, menurut Jaka, hal itu dipengaruhi, antara lain penanaman kedelai lokal hanya dilakukan di daerah-daerah tertentu dan petani sering kali ragu untuk menanam komoditas tersebut ketika terjadi anomali cuaca.

Selain itu, menurut Jaka, produktivitas kedelai di Banyumas maupun daerah-daerah lain di Indonesia lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara di Amerika Latin, seperti di Brasil dan Argentina.

“Dengan demikian, petani kita yang menanam kedelai sedikit dan luas tanam menjadi sedikit. Di samping itu, kultur budaya petani kita belum biasa menanam kedelai terus-menerus tiap tahun, sehingga produksi kedelai di Banyumas ini tidak bisa memenuhi kebutuhan kedelai masyarakat Banyumas,” kata Jaka.

Namun, Jaka mengaku bersyukur karena harga kedelai lokal lebih tinggi dari kedelai impor yang selama ini digunakan perajin tempe dan tahu. Menurut dia, hal itu menunjukkan konsumen atau masyarakat Indonesia sudah bisa menghargai kualitas kedelai lokal. “Kedelai kita itu kan lebih enak, yang GMO (Genetically Modified Organism) ya,” kata Jaka.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler