Mengenang Mesranya Zionisme dan Nazi Jerman
Apakah Zionisme dan antisemitisme benar-benar dua sisi yang berseberangan?
Di negara-negara Barat sekutu Israel, antisemitisme alias kebencian terhadap wangsa Yahudi kini jadi senjata untuk memberangus aksi-aksi pro-Palestina. Di Jerman, banyak aksi menentang perang di Gaza dibungkam dengan alasan tersebut.
Sementara parlemen Amerika Serikat baru-baru ini meloloskan beleid yang dikhawatirkan akan menyapu semua kritik terhadap Israel sebagai tindakan antisemitisme. Di Israel, hari-hari belakangan diperingati sebagai Peringatan Holocaust, saat jutaan dibantai Nazai Jerman pada 1930-1940-an.
Tapi apakah Zionisme dan antisemitisme benar-benar dua sisi yang berseberangan? Sejarah mencatat sebaliknya.
Antisemitisme, sedianya bukan barang baru di Barat. Akarnya dari pandangan umat Kristiani awal bahwa etnis Yahudi terlibat dalam penyaliban Yesus Kristus. Hampir semua negara Eropa, pada titik tertentu, pernah punya kebijakan diskriminatif terhadap komunitas Yahudi.
Awam diyakini di Barat, adalah tendensi antisemitisme ini yang mendorong perlunya Zionisme, alias pembentukan negara sendiri untuk kaum Yahudi semata. Namun, seorang anggota parlemen di Inggris sejak lama meramalkan sebaliknya: justru Zionisme yang akan meningkatkan gelombang antisemitisme. Namanya Edwin Montagu, ia satu-satunya Yahudi di parlemen Inggris kala itu.
Konteksnya, pada awal-awal abad ke-20 tersebut, masih segar di benak orang Eropa soal “Pogrom” alias pembantaian kaum Yahudi di wilayah yang diduduki Rusia di Eropa Timur. Pembantaian itu kemudian memicu eksodus besar-besaran kaum Yahudi ke Amerika Serikat dan Inggris. Inggris yang kewalahan menampung para imigran ini lalu mengeluarkan Aliens Act pada 1904. Secara harfiah, aturan itu berkata: Yahudi tak diterima di sini.
Pada masa-masa ini juga muncul gerakan Zionisme yang dikomandoi Yahudi dari Eropa Timur. Kongres Zionis pertama kalinya digelar pada 1897 di Swiss. Pada akhirnya gerakan ini sampai ke Inggris. Kaum Yahudi yang sudah tinggal di Inggris, melalui para saudagarnya seperti Edmond James de Rothschild, melobi Kerajaan untuk mendukung pendirian negara Zionis di wilayah Palestina yang baru direbut Inggris dari Turki Utsmani.
Pada awal 1917, santer kabar bahwa usulan itu diterima pemerintah Inggris. Edwin Montagu kemudian melayangkan keberatannya. Montagu adalah seorang Yahudi yang religius. Seperti kebanyakan Yahudi saat itu, ia menolak tegas Zionisme yang merupakan proyek Yahudi sekuler dan komunis.
Keberatan itu ia tuangkan dalam memorandum pada Agustus 1917 dengan judul yang pedas: Anti-Semitism of the British Government. Menurutnya, kerelaan Inggris mendukung Zionisme adalah ujung dari penolakan kerajaan itu atas kaum Yahudi yang berbondong-bondong tiba dari Rusia.
“Saya memilih judul di atas untuk memorandum ini, bukan dengan maksud bermusuhan, tidak dengan cara apapun bertentangan dengan pandangan anti-Semit yang mungkin dianut oleh rekan-rekan saya, bukan dengan keinginan untuk menyangkal bahwa antisemitisme dapat dianut oleh orang-orang yang rasional, bahkan tidak dengan maksud untuk menyatakan bahwa Pemerintah sengaja anti-Semit; namun saya ingin mencatat pandangan saya bahwa kebijakan Pemerintahan Yang Mulia (terkait pendirian negara Zionis,- Red) akan bersifat anti-Semit dan akan menjadi landasan bagi anti-Semit di setiap negara di dunia.”
Montagu kemudian mengingatkan bahwa kala itu Rusia sudah berbeda dengan yang sebelumnya melakukan Pogrom. Beberapa bulan sebelum memorandum itu, tepatnya pada Maret 1917, kaum Bolshevik yang didukung oleh Yahudi Rusia sudah mengguling Tsar dan berencana membentuk pemerintahan komunis.
“Saya selalu memahami bahwa mereka yang menganut keyakinan ini [Zionisme] sebagian besar didorong oleh pembatasan dan penolakan kebebasan terhadap orang Yahudi di Rusia. Namun pada saat orang-orang Yahudi ini telah diakui sebagai orang-orang Yahudi Rusia dan diberi semua kebebasan, tampaknya tidak masuk akal bahwa Zionisme harus diakui secara resmi oleh Pemerintah Inggris. Tidak masuk akal bahwa Tuan Balfour (menteri luar negeri Inggris) diberi wewenang untuk mengatakan bahwa Palestina akan menjadi bagian dari negara tersebut, dan dibentuk kembali sebagai ‘rumah nasional orang-orang Yahudi’”.
Montagu yang nantinya punya kedekatan dengan Muslim, juga mengkhawatirkan nasib umat beragama lain di Palestina jika negara Zionis didirikan. “Saya tidak tahu apa yang tercakup dalam hal ini (negara Zionis,- Red), namun saya berasumsi bahwa hal ini berarti bahwa kaum Mohammedan [Muslim] dan Kristen harus memberikan jalan bagi kaum Yahudi dan bahwa kaum Yahudi harus ditempatkan pada semua posisi yang diutamakan dan secara khusus harus diasosiasikan dengan Palestina dalam posisi yang sama seperti halnya Inggris dengan Inggris atau Perancis dengan Perancis, maka orang-orang Turki dan kaum Muhammadan lainnya di Palestina akan dianggap sebagai orang asing, sama seperti orang-orang Yahudi selanjutnya akan diperlakukan sebagai orang asing di setiap negara kecuali Palestina.”
Ia kemudian menekankan kembali maksudnya tersebut. Bahwa pendirian negara Zionis akan memicu pengusiran besar-besaran komunitas Yahudi.
“Ketika orang-orang Yahudi diberitahu bahwa Palestina adalah rumah nasional mereka, setiap negara akan segera ingin menyingkirkan warga Yahudinya, dan Anda akan melihat populasi (Yahudi) di Palestina mengusir penduduknya saat ini, mengambil semua yang terbaik di negara tersebut ”
Montagu juga menggarisbawahi keyakinan agama Yahudi bahwa kembalinya Bani Israel ke Yerusalem hanya dapat terjadi setelah munculnya mesias.
“Selalu dipahami oleh orang-orang Yahudi sebelum Zionisme ditemukan, bahwa untuk membawa orang-orang Yahudi kembali membentuk sebuah negara di negara tempat mereka tersebar memerlukan kepemimpinan Ilahi. Saya belum pernah mendengar pendapat, bahkan oleh pengagum paling setia mereka, bahwa Tuan Balfour atau Lord Rothschild akan terbukti sebagai Mesias ”
“Saya menyangkal bahwa Palestina saat ini dikaitkan dengan orang-orang Yahudi atau dianggap sebagai tempat yang cocok bagi mereka untuk tinggal. Sepuluh Perintah Allah disampaikan kepada orang-orang Yahudi di Sinai. Memang benar bahwa Palestina mempunyai peranan yang besar dalam sejarah Yahudi, namun hal yang sama juga terjadi dalam sejarah Mohammedan modern, dan, setelah zaman Yahudi, tentu saja Palestina mempunyai peranan yang lebih besar dibandingkan dengan negara-negara lain dalam sejarah Kristen. Bait Suci mungkin ada di Palestina, begitu pula Khotbah di Bukit dan Penyaliban.”
Montagu menekankan, ia sama sekali tak menentang hak kaum Yahudi untuk tinggal di Palestina. Yang ia lawan adalah pendirian negara yang khusus buat orang Yahudi saja di tanah yang sudah ditempati berbagai agama dan suku lain sejak lama.
Memorandum Montagu pada akhirnya tak didengarkan. Lord Balfour kemudian mengeluarkan deklarasi dukungan pendirian negara untuk kaum Yahudi di wilayah Palestina pada November 1917.
Surat itu memicu imigrasi besar-besaran orang Yahudi ke Palestina yang kemudian disusul terusirnya penduduk tempatan, Muslim maupun Kristiani, persis seperti yang diramalkan Montagu.
Sementara pada 1930-an, seperti yang juga diramalkan Montagu, antisemitisme mewujud dalam bentuknya yang paling kejam, yakni Nazi Jerman. Yang tak diperkirakan oleh Montagu, kaum Zionis malah merengkuh antisemitisme ini. Dalam pikiran mereka, semakin kuat antisemitisme di Eropa, semakin kuat dorongan untuk keberadaan negara Zionis.
Buktinya, pada 1933, organisasi Buruh Zionisme di Jerman menandatangani Perjanjian Transfer “Ha'avara” dengan Nazi. Patut dicatat, organisasi itu yang pertama kali mematahkan boikot internasional terhadap rezim Adolf Hitler itu. Isi kesepakatannya, Nazi Jerman akan memberikan kompensasi kepada Yahudi Jerman yang bermigrasi ke Palestina atas harta benda mereka yang hilang dengan mengekspor barang-barang Jerman ke Zionis di negara tersebut, sehingga mematahkan boikot.
Aljazirah melansir, antara 1933 hingga 1939, 60 persen dari seluruh modal yang diinvestasikan di Palestina berasal dari uang Yahudi Jerman melalui Perjanjian Transfer. Dana itu diantaranya digunakan untuk membeli tanah-tanah warga Palestina yang nantinya memungkinkan kolonisasi.
Pada 1935, cabang Zionis Jerman adalah satu-satunya kekuatan politik yang mendukung Undang-Undang Nuremberg Nazi di negara tersebut, dan merupakan satu-satunya partai yang masih diperbolehkan menerbitkan surat kabar milik mereka sendiri, Rundschau hingga setelah Kristallnacht pada 1938.
Pejabat-pejabat Nazi sudah menyadari pembentukan negara Zionis sebagai “solusi” terkait keberadaan Yahudi di Jerman sejak awal. The Times of Israel melaporkan, pada 2019 ditemukan buku tamu di Yerusalem bertanggal 1933 yang didalamnya tertera tanda tangan perwira militer Nazi, Leopold Mildenstein. Ia saat itu melakukan tur di Palestina bersama rekan Yahudi Jermannya Kurt Tuchler, beserta istri mereka masing-masing.
Mildenstein kala itu senang melihat cepatnya pembangunan koloni Yahudi dan gedung kebudayaan di Palestina. Mildenstein terus menganjurkan relokasi orang-orang Yahudi ke Mandat Inggris hingga tahun 1936, ketika ia digantikan sebagai penunjuk SS untuk isu-isu Yahudi oleh Adolf Eichmann yang terkenal menggagas pemusnahan bangsa Yahudi di Jerman.
Pejabat Nazi itu juga mengunjungi Palestina sebagai tamu Zionis pada 1934 dan 1937. Eichmann dan Herbert Hagen yang tiba di negara tersebut dibawa oleh utusan Zionis Feivel Polkes ke Gunung Carmel untuk mengunjungi pemukiman kolonial Yahudi.
Seluruh pejabat Nazi kala itu, menyambut baik pembentukan negara Zionis di Palestina. Seperti yang diramalkan Montagu, hal itu dipandang sebagai salah satu “solusi” untuk menyingkirkan komunitas Yahudi di Jerman. Meski pada akhirnya, Nazi Jerman tetap menjalankan pembantaian sebagai solusi terakhir.
Bagaimanapun, Holocaust kemudian menjadi salah satu pendorong imigrasi besar-besaran Yahudi ke Palestina. Dari situ, gelombang sejarah bergulir hingga akhirnya pada 1948 terjadi Nakba, pengusiran besar-besaran terhadap penduduk asli Palestina.