Sejarah Panjang Islam di Prancis Banyak Diwarnai Diskriminasi dan Standar Ganda
Perjalanan umat Islam di Prancis tidak mudah.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Interaksi masyarakat Eropa dengan Muslim sudah terjadi sejak awal perkembangan Islam dan pengaruhnya semakin meluas di Jazirah Arab hingga ke luar Jazirah Arab. Misalnya Muslim dari Arab dan Afrika yang disebut sebagai bangsa Moor oleh masyarakat Eropa telah menguasai Semenanjung Iberia antara tahun 711 M hingga 1492.
Wilayah Semenanjung Iberia di antaranya meliputi wilayah Spanyol, Portugal, Andorra, dan Gibraltar dan sedikit Prancis. Tentu ketika umat Islam berkuasa di Andalusia dan lahir Kekhalifahan Cordoba, pastilah bangsa Eropa berinteraksi dengan Muslim dalam banyak aspek kehidupan, tidak terkecuali masyarakat Eropa yang ada di wilayah Prancis saat ini.
Ratusan tahun telah berlalu, ternyata perjalanan Muslim di Prancis tidak mudah dan tidak berjalan mulus. Terjadi standar ganda dan diskriminasi sejak dulu yang membuat Muslim mendapat ketidakadilan.
Kisahnya dimulai di era Napoleon Bonaparte (1769 - 1821). Ketika Republik Prancis didirikan tahun 1792 dan baru berusia lima tahun, Napoleon Bonaparte jenderal Prancis yang paling berbakat mendarat di Alexandria di Mesir dengan pasukan ekspedisinya.
Kampanye Napoleon Bonaparte di Mesir terjadi pada 1 Juli 1798, menurut Kalender Revolusi, terjadi pada tanggal 13 Messidor Tahun VI, karena berdirinya Republik Perancis seharusnya membuka era baru.
Dilansir dari artikel pada laman News Lines Magazine yang dipublikasikan tahun 2020, dijelaskan bahwa Napoleon Bonaparte menerbitkan proklamasi dalam bahasa Arab. Dalam proklamasi itu, Napoleon Bonaparte menggambarkan dirinya sebagai sahabat penduduk lokal (Mesir) dan sekutunya untuk melawan Mamluk (para prajurit Mamluk).
"Orang-orang Mesir, mereka telah mengatakan kepadamu bahwa aku datang untuk menghancurkan agamamu, tetapi jangan percaya. Sebaliknya, saya datang untuk memulihkan hak-hak kalian dan menghukum para perampas kekuasaan, karena saya lebih menghormati Allah, Nabi-Nya, dan Alquran daripada Mamluk,” demikian bunyi proklamasi Napoleon Bonaparte.
Napoleon Bonaparte Ikut Rayakan Maulid Nabi di Mesir
Jean-Pierre Filiu seorang Profesor Studi Timur Tengah di Sciences Po, Paris School of International Affairs dalam laman News Lines Magazine menuliskan bahwa Napoleon Bonaparte sempat ikut merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW saat berada di Kairo, Mesir.
Setelah mengalahkan Mamluk, Napoleon Bonaparte menetap di Kairo. Napoleon Bonaparte menyelenggarakan perayaan ulang tahun (Maulid) Nabi Muhammad SAW yang megah. Namun, seluruh kemegahan dan rasa hormatnya terhadap Islam tidak menghalangi pemberontakan rakyat di ibu kota yang kemudian ditumpas tanpa ampun pada bulan Oktober 1798.
Empat bulan kemudian, Napoleon Bonaparte jenderal ambisius itu bergerak untuk menyerang umat Islam di Palestina, namun gagal merebut benteng strategis Palestina. Akhirnya, Napoleon Bonaparte menarik pasukannya lagi ke Mesir. Setelah ikut Maulid Nabi Muhammad SAW untuk kedua kalinya, Napoleon Bonaparte berlayar kembali ke Prancis.
Pengganti Napoleon Bonaparte adalah Jenderal Jean-Baptiste Kleber, ia harus memadamkan pemberontakan lain di Kairo (yang dijajah Prancis). Kemudian Jenderal Jean-Baptiste Kleber dibunuh pada bulan Juni 1800 M, oleh seseorang kelahiran Aleppo.
Gubernur baru Mesir dari Prancis adalah Jenderal Jacques-Francois Menou, masuk Islam dan mengambil nama Abdallah. Kemudian dia menikah dengan wanita Mesir dari keluarga bangsawan.
Dewan Arab yang dipimpinnya di Kairo berjanji bahwa “Prancis dan Mesir kini menjadi satu bangsa, dipersatukan oleh persahabatan yang kuat dan tulus.”
Namun pada bulan Agustus 1801, pasukan Menou dikalahkan oleh serangan yang dikoordinasikan antara Ottoman dan Inggris. Itulah akhir dari petualangan Republik Prancis di Mesir.
Tidak lama setelah itu, Napoleon Bonaparte yang sekarang menjadi penguasa tertinggi di Paris (Prancis) akan menghapuskan Republik dan mendirikan kerajaan pribadinya seperti Napoleon I.
Meskipun ekspedisi Prancis di Mesir hanya berlangsung selama tiga tahun, invasi Prancis ke Aljazair (Algeria di Afrika) pada tahun 1830 menandai 132 tahun kekuasaan Prancis.
Kampanye kolonial Prancis dimulai tepat sebelum revolusi lain mendirikan Monarki Juli di Paris. Militer Prancis mula-mula mengusir garnisun Utsmaniyah, kemudian mengobarkan perang total yang akhirnya berhasil menghancurkan perlawanan lokal yang dipimpin oleh Emir Abdelkader pada tahun 1847.
Ketika Republik Kedua Prancis didirikan pada bulan Februari 1848 di atas reruntuhan Monarki Juli, Republik ini mencaplok wilayah Aljazair dan membaginya menjadi tiga departement; Aljir, Oran dan Konstantin, sementara wilayah lainnya tetap menjadi zona militer.
Louis-Napoleon Bonaparte, keponakan Napoleon I, menjadi Kaisar Prancis sebagai Napoleon III pada bulan Desember 1852, menggantikan Republik Kedua dengan Kekaisaran Kedua. Pemerintahan kekaisarannya tampaknya lebih peka terhadap penderitaan penduduk setempat dibandingkan dengan pemerintahan republik yang mendahului dan menggantikannya.
Pada saat itu, warga Prancis dan Eropa lainnya pindah ke Aljazair (di Afrika), mereka memperoleh sebagian besar tanah dan properti bangsa Arab di Aljazair. Cara memperolehnya dengan kekerasan, paksaan, dan bantuan dari otoritas Prancis.
Selama dua kunjungannya ke Aljazair, Napoleon III terkejut dengan kebijakan ini dan memutuskan untuk membatasinya demi kepentingan penduduk asli Aljazair.
Pada tahun 1860, Napoleon III membayangkan sebuah kerajaan Arab bersekutu dengan Kekaisaran Prancis, namun Emir Abdelkader yang sekarang diasingkan menolak untuk bergabung dalam usaha tersebut.
Standar Ganda Prancis dan Diskriminasi Terhadap Muslim
Lima tahun kemudian, Napoleon III menetapkan bahwa warga Aljazair setempat akan menjadi warga Prancis yang status pribadinya tetap berdasarkan hukum agama yakni syariah untuk 3 juta penduduk Muslim di negara tersebut dan hukum Musa untuk 30.000 penduduk Yahudi.
Para pemukim dari Eropa di Aljazair sangat marah. Mereka memandang tindakan itu pro-pribumi (pro terhadap Muslim Aljazair). Mereka menuduh militer Prancis melindungi penduduk lokal (Muslim Aljazair) dari penjajahan yang agresif.
Hal ini menjelaskan mengapa Republik Ketiga Prancis, segera setelah menggantikan Kekaisaran Kedua pada bulan September 1870, berupaya menghapus warisan Aljazair yang pro-pribumi (Pro Muslim).
Kewenangan atas Aljazair oleh Prancis dialihkan dari Kementerian Perang ke Kementerian Dalam Negeri.
Kemudian, orang-orang Yahudi Aljazair menjadi warga negara Prancis, sementara Muslim Aljazair hanya menjadi subjek. Hal ini menciptakan perpecahan yang mempolarisasi penduduk Aljazair menjadi orang Eropa yang terdiri dari pemukim asing di Aljazair, orang Yahudi dan Muslim.
Ini adalah momen penting dalam sejarah Republik Prancis dengan Islam, ketika identitas agama yang ketat diberikan kepada penduduk Aljazair untuk menghilangkan hak-hak mereka. Dinamika ini semakin intensif setelah pemberontakan melawan pemerintahan Prancis pada tahun 1871. Penindasan berdarah oleh Prancis ini berujung pada proses perampasan besar-besaran terhadap kaum tani lokal, yang menguntungkan gelombang baru pemukim Spanyol, Italia, dan Malta yang semuanya akan segera memperoleh kewarganegaraan Prancis. Tapi tidak dengan Muslim yang sulit dapat kewarganegaraan.
Begitu besarnya tekad Republik Ketiga Prancis untuk mengendalikan penduduk Aljazair dan mengecualikan mayoritas warga Aljazair yang beragama Islam dari kewarganegaraannya.
Sejak tahun 1801, hubungan antara Republik Perancis dan Gereja Katolik diatur melalui perjanjian dengan Paus yang dikenal sebagai konkordat. Namun pada tahun 1905, Prancis mengadopsi undang-undang pemisahan antara Gereja dan Negara, yang secara efektif mengakhiri konkordat tersebut. Namun, di Aljazair, undang-undang tersebut tidak pernah benar-benar diterapkan.
Muslim Menjadi Kristen Karena Tekanan Prancis
Pada tahun 1903, pengadilan Aljazair yang dikuasai Prancis telah menyatakan bahwa seseorang yang lahir sebagai Muslim tidak perlu menjadi orang yang taat untuk dapat dikategorikan sebagai Muslim oleh pemerintah Prancis.
Penetapan kualifikasi etno-religius ini hanyalah sebuah cara untuk mengecualikan sebagian besar penduduk Aljazair yang Muslim dari hak-hak yang dimiliki orang Eropa. Antara tahun 1865 hingga 1915, sekitar 2.400 Muslim pindah agama menjadi Katolik agar diberikan kewarganegaraan Prancis.
Pada tahun 1907, pemerintahan Prancis di Aljazair semakin mengkonsolidasikan gagasan Islam resmi, yang didanai dan dijalankan oleh Prancis, yang akan mengendalikan jaringan masjid, imam, mufti, dan badan amal sebagai alat dominasi yang strategis.
Karena undang-undang pemisahan tahun 1905 merupakan landasan utama dari laicite Prancis, sebutan khusus untuk sekularisme Prancis, maka masuk akal jika pengecualian Aljazair terhadap prinsip yang sangat terkenal ini menghasilkan kebijakan standar ganda. Alih-alih netralitas yang seharusnya berlaku dalam hubungan antara Republik Prancis dan agama Katolik, Protestan, dan Yahudi, sebuah konkordat de facto tetap berlaku di Aljazair, dengan Republik Prancis setiap hari ikut campur dalam urusan Muslim.
Singkat cerita, kebangkitan nasionalisme Aljazair akhirnya meletus, karena dipicu oleh ketidakadilan dan diskriminasi yang dilakukan Prancis selama menjajah Aljazair.
Imigrasi Muslim dari Afrika ke Prancis
Seiring berjalannya waktu, Prancis telah melepaskan protektoratnya atas Maroko dan Tunisia pada tahun 1956, dan kini fokus pada wilayah metropolitannya di Prancis. Namun, kebutuhan akan tenaga kerja murah untuk menopang pertumbuhan industri menyebabkan imigrasi massal dari Maghreb (Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya, Mauritania) ke Prancis pada tahun 1968. Sehingga lebih dari 600.000 warga Afrika Utara telah pindah ke Prancis di Eropa.
Dihadapkan dengan meningkatnya pengangguran di dalam negeri, pada tahun 1974, Paris menangguhkan imigrasi ekonomi dari Afrika Utara. Namun program reuni keluarga mengubah sifat populasi ini, dengan generasi kedua warga negara Prancis yang lahir dan besar di Prancis. Pada Mei 1981, setelah 25 tahun pemerintahan sayap kanan, Francois Mitterrand dari Sosialis terpilih sebagai presiden, memupuk harapan para aktivis pinggiran generasi kedua ini.
Insiden kekerasan rasis dan kebrutalan polisi menyebabkan diluncurkannya “Pawai Untuk Kesetaraan” pada bulan Oktober 1983, yang diilhami oleh gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat. Dua bulan kemudian, 100.000 orang berkumpul di Paris untuk menghadiri apa yang kemudian disebut sebagai Marche des Beurs (Beur adalah padanan bahasa Prancis yang populer untuk bahasa Arab).
Francois Mitterrand menerima delegasi yang tuntutannya mencakup hak memilih dalam pemilihan lokal bagi penduduk asing, sebuah proposal yang sudah termasuk dalam platform partai Sosialis. Mereka berpendapat bahwa semakin banyak imigran Muslim generasi pertama yang terlibat dalam kehidupan politik Prancis, maka integrasi generasi kedua Prancis akan semakin lancar. Namun Francois Mitterrand yang khawatir dengan meningkatnya gelombang sayap kanan Jean-Marie Le Pen, menghentikan tuntutan Marche des Beurs.
Jean-Pierre Filiu menyebut bahwa tidak ada keraguan bahwa Prancis adalah rumah bagi komunitas Muslim terbesar di Eropa dan komunitas Yahudi terbesar.
Perkembangan dan Kemajuan Muslim di Eropa
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional, Sudarnoto Abdul Hakim menjelaskan sejarah singkat umat Islam di Eropa hingga munculnya islamophobia saat ini.
Sudarnoto menyampaikan, awalnya umat Islam di Eropa, Amerika dan Australia adalah imigran dari Timur Tengah dan Afrika Utara. Mereka adalah para pencari kerja, dan di antara mereka ada juga yang dibawa oleh pemerintah setempat yang ada di Eropa untuk bekerja di sana, karena negara di Eropa membutuhkan tenaga kerja.
"Pada masa gelombang pertama imigrasi umat Islam, mereka masih memiliki banyak kendala, di antaranya karena perbedaan agama, kebiasaan, bahasa, ras dan lain sebagainya," kata Sudarnoto saat diwawancarai Republika tahun 2023.
Sudarnoto menerangkan, semua kendala yang dihadapi Muslim menimbulkan disparitas. Umat Islam juga mengalami banyak persoalan seperti sulit berkomunikasi, karena perbedaan bahasa.
Pada masa awalnya, Muslim di Eropa, Amerika dan Australia status ekonomi dan sosialnya berada di bawah. Mereka juga termarginalisasikan karena mereka umumnya menjadi para pekerja kelas bawah.
"Tapi generasi ketiga dan keempat, saat ini sudah generasi keempat, itu (Muslim) sudah mengalami perubahan yang luar biasa, anak-anak Muslim yang imigrasi ke Eropa, Amerika dan Australia sudah bisa berbahasa Inggris dan sudah melebur dengan budaya lokal," ujar Sudarnoto.
Ia menjelaskan, jadi sebetulnya ada proses akomodasi terhadap Muslim juga. Sebab tingkat penerimaan masyarakat Eropa banyak juga yang bagus terhadap Muslim.
Sekarang, Muslim di Eropa tingkat pendidikannya tinggi, ada juga yang menjadi profesional, akademisi dan politisi. Bahkan di Inggris ada beberapa Muslim yang menjadi walikota. Jadi di tengah masyarakat umum, Muslim sudah tidak memiliki persoalan terkait hubungan.
Keberhasilan Muslim di Eropa karena orang tua Muslim mereka mendidik anak-anaknya dengan ketat sesuai dengan syariat Islam. Mereka melarang anaknya mabuk, narkoba, berjudi dan melarang hal-hal negatif lainnya. Sehingga pendidikan yang baik dari orang tua Muslim membuat keturunnya menjadi kelas profesional di Eropa.
Sumber
https://newlinesmag.com/review/the-long-and-troubled-history-of-the-french-republic-and-islam/