Pengurus DMI Ikut Bicara Mengenai Fenomena Salafi, Begini Penjelasannya

Salafi merupakan corak keislaman di berbagai kawasan.

Republika/Fauziah Mursid
Pengurus Dewan Masjid Indonesia Imam Addaruqutni.
Rep: Muhyiddin Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kaum Salafi baru-baru ini menjadi perbincangan yang cukup ramai di Indonesia. Karena, pemahaman Salafi telah masuk ke tubuh organisasi Islam Indonesia, khususnya Muhammadiyah.  

Baca Juga


Menanggapi hal itu, Pengurus Dewan Masjid Indonesia, Imam Addaruqutni menjelaskan, paham salafi wahabi yang suka membid'ahkan, menyesatkan budaya tradisi-tradisi lokal, merupakan salah satu corak perspektif dalam Islam. 

"Ya begitulah corak perspektif apresiasi umat Islam terhadap Islam itu sendiri," ujar Imam saat dihubungi Republika, Senin (13/5/2024). 

Secara umum, Imam menyebut ada dua blok besar, yaitu Muslim rigid dan Muslim kreatif. Dia menjelaskan, Muslim rigid mengapresiasi Islam dengan mengklaim bahwa Islamnya paling sesuai dengan Alquran dan hadits, original, dan terus mendakwahkan sejalan dengan klaimnya. 

"Itu dibarengi juga dengan mudahnya membid'ahkan terhadap amalan yang tidak sejalan dengan apresiasi klaim keislaman mereka," ucap Imam. 

Sedangkan Muslim kreatif, kata dia, justru Muslim berbid'ah bahkan perlu banyak bid'ah oleh karena katab bid'ah itu artinya kreatif dan Allah Sendiri adalah justru Maha bid'ah/Al-Badiy' (QS Baqarah ayat 117 dan QS Ali Imran ayat 101). Al-Badiy' atau Allah Maha bid'ah itu merupakan salah satu dari al-Asma' al-Husna, nama-nama utama 99 yang terkenal itu. 

"Saya sendiri nggak bisa membayangkan seperti apa menjalankan Islam tanpa budaya itu jika semuanya secara kategoris dikatakan bahwa di luar yang dikatakan Islam atau hadits dihukumi sesat," kata Imam. 

Dalam konsensus ulama, dikatakan bahwa Alquran dan Hadits itu mutanahiya (terbatas), sedangkan kehidupan manusia dan budayanya ghair mutanahìyah (tak terbatas). Artinya, bahwa kedua sumber Islam itu memang ada yang detail berkenaan dengan ketentuan hukum tertentu, misalnya, beberapa masalah krusial hukum waris, dan sebagainya. 

 

Lihat halaman berikutnya >>>

 

 

"Belum lagi kalau disebut bahwa dari Allah dan Rasulullah itu lahir Syariah lalu bagaimana bisa dilaksanakan maka hal itu perlu pemikiran (bid'ah) oleh para ulama lalu lahirlah fikih (orang-orang menyebutnya sebagai hukum Islam). Dalam praktik bagaimana ketentuan Syariat dilaksanakan, baik Salafi maupun non-Salafi di kalangan umat Islam, secara tak terelakkan merujuk ke pemikiran bid'ah para ulama," jelas Imam.

Jadi, tambah dia, yang perlu ditegaskan bahwa secara teknis istilah atau lafadz bid'ah di kalangan ulama Islam terbagi dua, yaitu lafadz khash (lafadz khusus) dan lafadz 'aam (lafadz umum). 

"Penerapan lafadz istilah bidah itu khusus untuk urusan yang ibadah saja, misalnya shalat, dan sebagainya. Tidak bisa diterapkan secara umum karena masalah budaya adalah masalah umum. Kalau secara umum maka bidah itu boleh bahkan dianjurkan sejauh tidak merusak kemanusiaan itu sendiri," kata Imam. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler