UKT Mahal, Kuliah Jadi Pendidikan Tersier, dan Kekagetan Jokowi Jebolan S2-S3 yang Rendah

Pernyataan Kemendikbudristek dinilai menciutkan mimpi anak bangsa untuk kuliah.

Youtube
Video aksi kekerasan terhadap mahasiswa Universitas Sriwijaya yang melakukan aksi untuk memprotes Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang menjadi viral di media sosial, Kamis (3/8).
Rep: Ronggo Astungkoro Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di sejumlah perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTNBH) dinilai sudah terlalu mahal. Sejumlah protes pun dilancarkan seperti di Universitas Jenderal Soedirman, Universitas Indonesia, ITB, Universitas Riau dan berbagai kampus lainnya. 

Di tengah protes itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi mengeluarkan pernyataan mengejutkan bahwa pendidikan tinggi masuk dalam edukasi tersier. Mengapa demikian? karena perguruan tinggi tidak masuk dalam program wajib belajar. 

Namun, pernyataan itu seperti kontraproduktif dengan statement Presiden Joko Widodo sebelumnya. Presiden pada Januari 2024 lalu  justru mengaku kaget ketika mengetahui rasio penduduk berpendidikan pascasarjana terhadap populasi produktif di Indonesia masih sangat rendah yakni di angka 0,45 persen.

Bahkan, Indonesia tercatat masih kalah dengan negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia. Sedangkan di negara-negara maju sendiri angka rasionya sudah mencapai 9,8 persen.

"Dan rasio penduduk berpendidikan S2 dan S3 terhadap populasi produktif masih rendah sekali. Saya kaget. Indonesia di angka 0,45 persen. Negara tetangga kita Vietnam, Malaysia sudah di angka 2,43 persen. Negara maju 9,8 persen. Jauh sekali," kata Jokowi di acara pembukaan Konvensi Kampus XXIX dan Temu Tahunan XXV Forum Rektor Indonesia di Surabaya, Jawa Timur, Senin (15/1/2024).

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) memandang pernyataan Kemendikbudristek yang menyebut pendidikan tinggi termasuk ke pendidikan tersier dapat menciutkan mimpi anak bangsa untuk bisa duduk di bangku kuliah. JPPJ menilai pendidikan tinggi yang diletakkan sebagai kebutuhan tersier adalah salah besar.

"Melukai perasaan masyarakat dan menciutkan mimpi anak bangsa untuk bisa duduk di bangku kuliah," kata Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji lewat keterangannya, Jumat (17/5/2024).

Baca Juga



Menurut Ubaid, meletakkan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersiar adalah salah besar. Dia kemudian mempertanyakan soal kebutuhan primer, yakni wajib belajar 12 tahun, sudah dibiayai pemerintah atau belum. Sebab, pembiayaan hanya dilakukan dengan skema bantuan berupa bantuan operasional sekolah (BOS), bukan pembiayaan penuh.

"Akibatnya, ditemukan jumlah anak tidak sekolah (ATS) yang masih menggunung. Berdasarkan data BPS 2023, ATS masih ditemukan di tiap jenjang, SD di 0,67 persen, SMP 6,93 persen, dan SMA/SMK 21,61 persen. Jika dikalkulasi, JPPI mengestimasi populasi ATS mencapai 3 juta lebih. Ini jumlah yang sangat besar," kata dia.

Ubaid mengatakan, faktor utama penyebab ATS itu jelas adalah soal ekonomi, kemampuan untuk membayar biaya sekolah. Artinya, sekolah di Indonesia hari ini masih berbayar, dan pendidikan bebas biaya seperti diamanahkan oleh Undang-undang Dasar (UUD) 1945 dan UU Sisdiknas masih sebatas retorika 'omon-omon'.

Data yang lebih mengenaskan ada di tingkat perguruan tinggi. Berdasarkan data BPS pada Maret 2023, hanya ada 10,15 persen penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas yang sudah menamatkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. Akses yang masih sangat kecil ini, menurut Ubaid, tentu karena biaya yang mahal.

"Apalagi pemerintah menganggap pendidikan tinggi ini sebagai kebutuhan tersier. Karena itu, JPPI menuntut agar pemerintah mengembalikan pendidikan kita, termasuk di pendidikan tinggi, sebagai public good dan menolak segala bentuk komersialisasi di perguruan tinggi, khususnya di PTNBH," jelas dia.

Menjadikan pendidikan tinggi sebagai public good dia nilai penting karena pendidikan adalah menyangkut hajat hidup dan kebutuhan seluruh warga negara yang harus dipenuhi. Amanah untuk memenuhi hal itu jelas termaktub dalam pembukkan UUD 1945 alinea 4, yang menyatakan, salah satu tujuan utama berdirinya NKRI ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

"Pemerintah sebagai pengemban amanah ini, harus mempertanggungjawabkan kepada masyarakat soal agenda ini," kata dia.

Dalam rangka menuju bangsa yang cerdas dan berdaya saing global, kata dia, tentu pendidikan hinga SMA/SMK saja tidak cukup. Anak-anak Indonesia harus bisa mendapatkan layanan pendidikan hinggi perguruan tinggi. Karena itu, peran dan keberpihakan pemerintah sangat penting.

Jadi, negara harus hadir dan berpihak kepada semua dalam menjalankan amanah konstitusi dan bertanggung jawab penuh untuk menyediakan layanan pendidikan tinggi. Ini harus dilakukan pemerintah supaya setiap warga negara mendapat kesempatan sama dan tidak berkompetisi saling mengalahkan dalam mengaksesnya.

Kulian pendidikan tersier

Sebelumnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyebutkan, tidak semua lulusan sekolah lanjut tingkat atas (SLTA) atau sekolah menengah kejuruan (SMK) wajib masuk ke perguruan tinggi. Sebab, perguruan tinggi termasuk ke dalam tertiary education atau edukasi tersier, bukan wajib belajar.

“Pendidikan tinggi ini adalah tersiery education. Jadi, bukan wajib belajar. Artinya tidak seluruhnya lulusan SLTA, SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan. Siapa yang ingin mengembangkan diri masuk perguruan tinggi, ya itu sifatnya adalah pilihan, bukan wajib,” ucap Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi Tjitjik Srie Tjahjandarie di Jakarta, Rabu (15/5/2024).

Tjitjik menatakan, pendidikan tinggi berbeda dengan wajib belajar, yakni pendidikan tingkat sekolah dasar hingga SLTA/SMK. Sebagai konsekuensi dari hal tersebut, pendanaan pemerintah untuk pendidikan diprioritaskan untuk pembiayaan wajib belajar. Sebab, kata dia, hal itu adalah amanat undang-undang.

“Bagaimana untuk pendidikan tinggi? Tentunya pemerintah tetap bertanggung jawab. Tapi dalam bentuk bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN),” terang dia.

Dia menjelaskan, idealnya, jumlah BOPTN yang diberikan itu sama dengan biaya kuliah tunggal (BKT). Jika pemerintah bisa memberikan pendanaan BOPTN sama dengan BKT, maka pendidikan tinggi itu akan gratis. Tetapi, yang jadi persoalan adalah dana pendidikan Indonesia yang tidak mencukupi.

“Karena prioritas utama adalah untuk pendidikan wajib. Nah, selama ini, bantuan BOPTN ke perguruan tinggi itu belum bisa memenuhi seluruh kebutuhan operasional penyelenggaraan pendidik,” kata dia.

Karena itu, kata Tjitjik, mau tidak mau diperlukan peran serta masyarakat atau gotong-royong untuk mendidik bangsa in. Menurut dia, gotong royong diperlukan agar masyarakat bisa mendapatkan akses pendidikan tinggi dengan harapan dapat semakin meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

“Sehingga begitu BKT ditetapkan, kemudian kita melihat bantuan pemerintah itu tidak akan mencukupi untuk menurut BKT, maka kita memberikan kewenangan kepada perguruan tinggi untuk dapat memungut uang kuliah tunggal (UKT),” jelas dia.

Namun, dia menegaskan, pemerintah tetap melarang adanya komersialisasi perguruan tinggi negeri. Hal tersebut, kata dia, sudah jelas diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Di mana, selain melarang adanya komersialisasi, perguruan tinggi negeri juga harus bersifat inklusif.

“Perguruan tinggi itu harus dapat diakses oleh masyarakat yang punya kemampuan akademik tinggi, baik dari yang kurang mampu maupun yang kaya atau yang mampu. Ini sudah kebijakannya,” tutur Tjitjik.

Untuk mewadahi semua itu, maka dalam penetapan UKT pemerintah mengatur adanya golongan UKT I dan UKT II. Di mana UKT I itu ada di angka Rp 500 ribu dan UKT II di angka Rp 1 juta. Menurut dia, pengaturan kedua golongan UKT itu dilakukan untuk menjamin masyarakat yang punya kemampuan akademik tinggi tapi secara ekonomi tidak mampu agar dapat mengakses pendidikan tinggi yang berkualitas.

Minimal penerima golongan UKT I dan II pun sudah ditetapkan di dalam Peraturan Mendikbudristek sebesar 20 persen dari kuota mahasiswa. Untuk selebihnya, sebagai bentuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk gotong royong membiayai pendidikan tinggi, maka pendidikan tinggi diberikan otonomi kewenangan untuk menetapkan golongan UKT III dan seterusnya.

“Apakah bebas? Tidak. Ada batasannya. Batasannya apa? UKT tertinggi itu tidak boleh melebihi BKT. Kenapa UKT tertinggi tidak boleh melebihi BKT? Ya agar masyarakat itu tidak overpay terhadap kebutuhannya sendiri,” terang dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler