Eks Menlu Iran Salahkan AS Atas Kematian Presiden Ebrahim Raisi, Ini Alasannya
Ebrahim Raisi tewas dalam kecelakaan helikopter tua buatan AS.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andri Saubani, Lintar Satria
Mantan Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif menyalahkan Amerika Serikat (AS) atas insiden kecelakaan helikopter yang menewaskan Presiden Iran Ebrahim Raisi. Menurut Zarif, sanksi dari AS yang selama ini dijatuhkan kepada Iran menjadi penyebab kecelakaan.
Dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi nasional Iran, Zarif mengatakan, sanksi AS selama ini membuat akses Iran terhadap modernisasi sistem aviasi menjadi terbatas. Kondisi itu kemudian diyakininya berperan pada jatuhnya helikopter yang ditumpangi Raisi dan rombongan, termasuk Menlu Hossein Amir-Abdollahian di kawasan pegunungan Barat laut Iran.
"Salah pihak yang bertanggung jawab terhadap tragedi kemarin adalah AS, karena sanksi-sanksi mereka yang mencegah Iran memiliki akses dalam pengadaan suku cadang penerbangan," kata Zarif dikutip Iran International, Senin (20/5/2024).
Pernyataan Zarif mengemuka di tengah meningkatnya tensi geopolitik di mana Iran terus meningkatkan kerja sama dengan Rusia dan China. Namun, mengapa Iran masih mengandalkan helikopter generasi tua produksi AS seperti Bell 212.
Helikopter Bell 212 adalah helikopter sipil yang produksinya diadaptasi dari helikopter era Perang Vietnam, UH-1N "Twin Huey". Dikembangkan pada akhir 1960-an untuk militer Kanada, Bell 212 diperkenalkan pada 1971 dan dikembangkan untuk membawa muatan yang lebih berat dengan mesin turbo ganda.
Senada dengan Zarif, pengamat militer Cedric Leighton mengatakan kepada CNN, sulitnya Iran mendapatkan suku cadang turut menjadi penyebab kecelakaan. Leighton yang merupakan pensiunan kolonel Angkatan Udara Amerika Serikat (AS) mengatakan Bell 212 awalnya diproduksi di AS kemudian diproduksi di Kanada.
"Helikopter itu pertama kali diperkenal di akhir masa kekuasaan Shah pada tahun 1976 dalam bentuk komersial dan sudah beroperasi sebelum beroperasi di militer AS," kata Leighton, Senin (20/5/2024).
"Jadi sebenarnya awal dari jenis helikopter khusus ini mungkin paling awal pada akhir tahun 1960-an," tambahnya.
"Jadi kemungkinan suku cadang jelas menjadi masalah bagi Iran."
Menurut Leighton dalam kasus ini masalah khusus cadang, sanksi-sanksi Barat terhadap program nuklir Iran dan cuaca yang sangat buruk beberapa hari terakhir di wilayah barat laut Iran berperan dalam kecelakaan helikopter Raisi dan rombongan.
"Semua itu, menurut saya, berkontribusi pada serangkaian insiden dan serangkaian keputusan yang dibuat oleh pilot dan bahkan mungkin presiden sendiri ketika harus menerbangkan pesawat ini… Dan sayangnya bagi mereka, akibatnya adalah kecelakaan ini,” kata Leighton.
Presiden Iran Ebrahim Raisi dan Menteri Luar Negeri Hossein Amir-Abdollahian telah terkonfirmasi tewas dalam kecelakaan helikopter di daerah pegunungan Barat laut Iran. Hal ini disampaikan usai tim pencari menemukan puing-puing helikopter di provinsi Azerbaijan Timur.
"Presiden Raisi, menteri luar negeri dan semua menumpang helikopter tewas dalam kecelakaan," kata seorang pejabat senior pemerintah Iran yang tidak bersedia disebutkan namanya, Senin (20/5/2024).
Kematian Raisi kemudian dikonfirmasi Wakil Presiden Mohsen Mansouri lewat pernyataan di media sosialnya. Kantor berita Iran, Mehr pun mengonfirmasi kematian Raisi dan rombongannya.
"Semua penumpang helikopter yang membawa presiden dan menteri luar negeri Iran syahid," kata kantor berita itu.
Raisi merupakan orang yang disebut-sebutt akan menjadi Pemimpin Tertinggi Iran selanjutnya. Menggantikan Ayatollah Ali Khamenei yang kini berusia 85 tahun.
Raisi yang berusia 63 tahun diketahui mengambil sikap tegas dalam perundingan untuk mengaktifkan kembali perjanjian nuklir dengan enam kekuatan dunia lainnya. Ia pun melihat peluang meraih keringanan sanksi-sanksi AS dengan menahan program nuklir Iran.
Namun, pada 2018 lalu mantan presiden AS Donald Trump menarik AS keluar dari perjanjian nuklir Joint Comprehensive Plan of Action (JPOA) dan menjatuhkan kembali sanksi-sanksi pada Iran. Teheran lalu membalasnya dengan melanjutkan program nuklirnya.
Langkah Iran menimbulkan kekhawatiran banyak pihak. Pemerintah Presiden AS Joe Biden mencoba menghidupkan kembali JCPOA dalam perundingan tak langsung dengan Iran.
Sikap tegas Raisi dalam memimpin juga memicu perpecahan di dalam negeri. Satu tahun setelah ia memenangkan pemilihan umum, para ulama di tingkat menengah meminta pemerintah menegkakan hukum "hijab dan kesucian" yang membatasi perilaku dan pakaian perempuan.
Beberapa pekan kemudian Mahsa Amini tewas dalam tahanan polisi moral yang menuduh perempuan kurdi itu melanggar hukum. Kematian perempuan muda itu memicu unjuk rasa di seluruh negeri yang memberikan pukulan keras bagi ulama yang sudah berkuasa sejak 1979.
Kelompok hak asasi manusia melaporkan ratusan orang tewas termasuk lusinan personel keamanan yang terlibat dalam penindakan keras terhadap demonstran. Saat itu Raisi mengatakan "tindakan kerusuhan tidak dapat diterima."
Saat rudal Israel membunuh perwira-perwira Garda Revolusi Iran di Suriah pada bulan April lalu, Iran membalasnya dengan mengerahkan ratusan rudal dan drone ke wilayah Israel. Raisi mengatakan setiap pembalasan Israel ke wilayah Iran dapat mengakibatkan tidak ada lagi yang tersisa dari “rezim Zionis.”
"Raisi seseorang yang dipercaya Khamenei, Raisi dapat melindungi warisan pemimpin tertinggi," kata deputi direktur Program Timur Tengah dan Afrika Utara lembaga think-tank Chatham House, Sanam Vakil.