Pengamat: Kematian Presiden Raisi Perkuat Kelompok Konservatif
Raisi dinilai mengambil jalan untuk meningkatkan hubungan dengan Rusia.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hubungan internasional Dinna Prapto Raharja menilai bahwa kematian Presiden Iran Ebrahim Raisi dan Menteri Luar Negeri Hossein Amirabdollahian dalam kecelakaan helikopter berpotensi mengkonsolidasi gerakan kelompok konservatif, yakni para pendukung Raisi.
"Hal ini untuk memastikan bahwa Iran tidak keluar dari jalur yang digariskan pemimpin sebelumnya yang wafat itu," kata Dinna saat dihubungi Antara di Jakarta pada Senin.
Pendiri think-tank independen Synergy Policies itu menjelaskan Presiden Raisi adalah pemimpin yang mengedepankan konsep revolusionisme pragmatis.
"Raisi memilih posisi tegas dalam negosiasi yang mengarah pada menekan Iran dan berusaha keras mengeluarkan Iran dari sanksi-sanksi AS dan negara-negara Barat," katanya.
Presiden Raisi, lanjut Dinna, mengambil jalan untuk meningkatkan hubungan dengan Rusia, melakukan de-dolarisasi serta memperluas kerja sama ekonomi dengan China dan Rusia
Di bawah kepemimpinan Raisi, Iran menjadi anggota penuh organisasi BRICS dan membangun kembali hubungan diplomatik dengan Arab Saudi tanpa mediasi Barat, katanya.
"Artinya Raisi mengambil pendekatan yang kontras dengan pendekatan presiden sebelumnya Hassan Rouhani yang melakukan pelibatan negara-negara Barat demi membangun kesepakatan soal nuklir dan mencabut sanksi internasional yang memberatkan Iran," kata Dinna menambahkan.
Lebih lanjut Dinna menjelaskan bahwa berkat Presiden Raisi, Iran merupakan pemangku kepentingan utama dalam Uni Ekonomi Eurasia dan lebih memperkuat hubungan diplomatik dengan negara-negara di Afrika dan Arab seperti Djibouti, Maladewa, Sudan, Mesir, Libya, Kuwait dan Arab Saudi. "Inilah cara Raisi menangkal sanksi ekonomi dari Barat".
Terkait potensi yang akan terjadi di kawasan Timur Tengah menyusul wafatnya Presiden Raisi, Dinna mengatakan, "Potensinya adalah wait-and-see melihat proses pemilu di Iran".
Menurut Dinna, kondisi perbaikan relasi antar negara-negara Timur Tengah menunjukkan bahwa tidak ada negara besar di Timur Tengah yang menginginkan instabilitas di kawasan. "Mereka cenderung masih menahan diri".