Dinkes Solo Catat Ada 103 Kasus DBD, 8 di Antaranya Meninggal

Adanya anak yang meninggal karena telat mendapatkan pertolongan.

ANTARA/Mohammad Ayudha
Relawan melakukan pengasapan nyamuk demam berdarah di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Homeschooling Kak Seto, Solo, Jawa Tengah, Jumat (2/9/2022). Pengasapan tersebut untuk mencegah berkembangnya nyamuk aedes aegypti penyebab demam berdarah di tempat pusat kegiatan anak-anak.
Rep: Muhammad Noor Alfian Choir Red: Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Dinas Kesehatan Kota Solo mencatatkan dari awal tahun hingga kini ada 103 kasus demam berdarah dengue (DBD). 


Kepala Dinas Kesehatan Retno Erawati Wulandari mengatakan dari ratusan kasus tersebut ada 8 kematian. Namun, itu adalah jumlah akumulasi dari awal tahun 2024. 

"Total kasusnya sampai dengan pekan kemarin atau di pekan 20 totalnya ada 103 kasus," kata Retno saat dihubungi awak media, Selasa (21/5/2024). 

Pihaknya juga mengatakan jika dibandingkan tahun 2023 terdapat kenaikan. Oleh sebab itu, pemerintah Kota Solo menurunkan surat edaran dengan nomor RS.09.01/1240/2024 yang berisi tentang pencegahan dan pengendalian infeksi DBD dan Arbovirosis. 

"Memang agak naik untuk yang tahun ini tetapi kita sudah upayakan dengan berbagai upaya. Salah satunya adalah kita sudah membuat SE Wali Kota terkait dengan DBD di mana dalam SE tersebut menganjurkan masyarakat untuk PSN," kata Retno. 

Selain itu, pihaknya juga melakukan upaya berupa edukasi kepada masyarakat yang daerahnya terpapar DBD melalui puskesmas. Ia juga mengatakan ada pemantauan jentik oleh puskesmas bersama 'kader pemantau jentik'. 

Di sisi lain, ia mengatakan sudah ada tanda penurunan kasus DBD jika dibandingkan dengan pekan sebelumnya. Dimana pada pekan ke-14 ada 10 kasus. 

"Dari kasus sebelumnya sudah mulai turun dibandingkan minggu-minggu sebelumnya, tapi memang masih ada kasusnya. Puncaknya ada di Minggu ke 14 itu dalam satu pekan ada 10 kasus, itu puncaknya dari 2024 ini," katanya. 

Retno mengatakan salah satu penyebab adanya anak yang meninggal akibat DBD lantaran telatnya pertolongan. Hal tersebut dikarenakan orang tua mengira anaknya sudah sembuh dari panas padahal itu adalah masa kritis. 

"(Penyebabnya) Anaknya sakit itu tidak diperiksakan atau kadang diperiksakan ke dokter pribadi, terus ketika diminta kontrol ke hari ke berapa tidak datang kontrol," katanya. 

"Masa kritis itu kan suhunya turun tapi itu tidak perbaikan mereka (orang tua anak) mengira adalah perbaikan. Biasanya terjadinya kematian itu karena keterlambatan pertolongan karena mereka (mengira anaknya) sudah membaik, sudah tidak panas. Sering kecolongannya di masa kritis seperti itu," katanya. 

Pihaknya juga mengimbau para orang tua anak agar segera menghubungi faskes terdekat agar tidak terjadi keterlambatan. Selain itu pihaknya juga meminta masyarakat aktif membasmi jentik nyamu. 

Artinya, ungkap dia, kalau terdapat permasalahan kesehatan tidak hanya panas terutama terkait DBD segera hubungi faskes terdekat. Selain itu ikuti anjuran yang sudah diberikan oleh dokter supaya tidak terjadi keterlambatan

"Selain pengobatan, masyarakat harus rutin PNS berkesinambungan, serentak tidak bisa hanya satu saja karena nyamuk ini tebang. Kalau di satu tempat rajin melakukan PSN tetangganya tidak melakukan ya sama saja itu tidak menyelesaikan masalah karena jaraknya 100 meter. Selain itu juga PSN lebih efektif mencegah DBD sejak ada jentik atau telur sudah terbasmi beda dengan fogging karena hanya membunuh nyamuk dewasa tapi kalau jentiknya tidak dibasmi ya menularkan DBD itu," katanya mengakhiri.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler