Kedudukan Orang yang Menyantuni Anak Yatim di Surga
Anak yatim harus mendapatkan bantuan untuk keberlangsungannya.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menyantuni anak yatim bukan sekadar suatu kegiatan amal biasa. Lebih dari itu, menyantuni anak yatim adalah panggilan kemanusiaan yang mendalam.
Ketika seseorang memilih untuk menyisihkan waktu, tenaga, dan sumber dayanya untuk memberikan perlindungan, kasih sayang, dan dukungan kepada anak-anak yang kehilangan orang tua, berarti seseorang tersebut memberi arti pada makna sejati dari keberadaannya sebagai manusia.
Dalam salah satu hadis dijelaskan bahwa setiap umat Muslim yang menyantuni anak yatim kedudukannya dengan Nabi Muhammad di surga sama seperti jari telunjuk dan jari tengah.
عَنْ سَهْلِ بَْنِ سَعْدٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم : أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِى الْجَنَّةِ هكَذَ، وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسطَى وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئاً
Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya. (HR. Bukhari).
Oleh karena itu, Islam memberikan perhatian khusus kepada anak yatim dan melarang keras eksploitasi terhadap mereka. Dalam Alquran terdapat banyak ayat yang mengingatkan umat Islam tentang pentingnya menjaga hak-hak anak yatim dan tidak diperbolehkan memakan harta anak yatim. Salah satunya Surat An-Nisa ayat 10 yang berbunyi:
اِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ اَمْوَالَ الْيَتٰمٰى ظُلْمًا اِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ نَارًاۗ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًاࣖ
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (QS. An-Nisa: 10).
Begitupun firman Allah dalam ayat lain menegaskan tentang ancaman bagi orang yang memakan harta anak yatim.
وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُ
Janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. (QS. Al-An’am: 152 dan Al-Isra’: 34).
Salah satu contoh memakan harta anak yatim yaitu seorang wali yang ditunjuk untuk mengelola harta warisan seorang anak yatim setelah kematian ayahnya. Alih-alih menjaga harta tersebut, wali tersebut menggunakan uang warisan untuk kepentingan pribadi, seperti membayar utang atau membeli barang-barang mewah untuk dirinya sendiri. Harta yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan anak yatim seperti pendidikan, makanan, dan tempat tinggal malah habis untuk kepentingan wali tersebut.
Perilaku tersebut tidak dibenarkan dalam Islam. Sebab, Islam mengajarkan setiap umat Muslim harus berperilaku baik terhadap sesama manusia, saling mengasihi, menjalin tali silaturahmi, dan menyantumi anak yatim dengan menyayangi mereka.