Ancang-Ancang Pemprov DKI Batasi Satu Alamat Maksimal untuk Tiga KK Usai Penertiban NIK
Ada temuan kasus kasus satu alamat di Jakarta digunakan untuk 20 atau 30 KK.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bayu Adji P, Antara
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berencana membuat kebijakan untuk membatasi jumlah kartu keluarga (KK) dalam satu alamat tempat tinggal. Kebijakan itu direncanakan karena saat ini banyak warga yang menumpang KK di satu alamat.
Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Provinsi DKI Jakarta Budi Awaluddin mengatakan, kebijakan itu masih dalan tahap pengkajian. Pihaknya juga masih akan membuat naskah akademik terkait kebijakan tersebut.
"Baru ini akan dimasukkan dalam Raperda pendudukan setelah UU Nomor 2 Tahun 2024, sebagai turunan dalam pengaturan administrasi kependudukan. Baru nanti dalam usulan raperda itu masuk ke DPRD dan dikonsultasikan," kata dia saat dikonfirmasi Republika, Jumat (24/5/2024).
Menurut dia, banyak temuan Disdukcapil terkait penggunaan satu alamat untuk banyak KK. Bahkan, ia menyebut ada kasus satu alamat digunakan untuk 20 atau 30 KK.
Budi menilai adanya banyak KK dalam satu alamat itu biasanya untuk warga yang menumpang. Karena itu, seiring dengan program penataan penertiban administrasi kependudukan, Disdukcapil DKI Jakarta juga akan melakukan pembatasan satu alamat maksimal untuk tiga KK.
"Kan nanti juga seiring dengan penataan kependudukan, bisa jadi mereka sudah banyak yang pindah. Karena kan banyaknya numpang KK, numpang alamat, seperti itu. Nah ini kan seiring sejalan (dengan penertiban administrasi kependudukan)," ujar dia.
Budi menambahkan, nantinya Disdukcapil DKI Jakarta juga akan melakukan verifikasi ke lapangan untuk mengetahui keadaan riilnya. Apabila didapatkan adanya warga yang menumpang alamat untuk KK, yang bersangkutan akan dimasukkan dalam program penataan lagi di tahun depan.
Namun, apabila satu alamat itu benar-benar dihuni oleh lebih dari tiga KK, Disdukcapil juga akan melihat kondisi bangunan atau rumah yang ditinggalinya. "Apakah rumahnya memang memadai untuk itu. Ya kan? Apakah rumahnya besar sekali untuk menampung semua. Kan gitu. Kalau misal tidak tertampung, itu kan enggak bagus untuk kehidupan keluarga," kata dia.
Karena itu, Budi mengatakan, pihaknya juga akan bekerja sama dengan instansi lain untuk memenuhi kebutuhan hunian warga yang terdampak. Warga yang terdampak bisa saja nantinya akan diarahkan untuk tinggal di rumah susun.
"Mungkin bisa saja kami koordinasi dengan Dinas Perumahan, yang kelebihan itu bisa di rumah susun atau seperti apa. Nah ini masih kita kaji sih," kata dia.
Pemprov DKI Jakarta belakangan memang tengah gencar dalam penertiban terkait kependudukan dan catatan sipil. Yang paling menjadi perbincangan publik adalah penonaktifan NIK warga yang tidak berdomisili di DKI Jakarta.
Pada tahap pertama, terdapat sekitar 49 ribu warga yang akan terdampak penonaktifan NIK. Data sekitar 49 ribu warga itu telah diarahkan kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Pasalnya, Kemendagri yang berwenang melakukan penonaktifan NIK.
Mereka yang terdampak penertiban administrasi kependudukan pada tahap awal adalah warga yang sudah meninggal, yang berjumlah sekitar 40 ribu. Selain itu, warga yang tinggal di rukun tetangga (RT) yang sudah tidak ada akibat pembangunan, yang jumlahnya sekitar 9.600 orang.
Program penertiban itu tak akan berhenti untuk 49 ribu warga. Pada tahap selanjutnya, Pemprov DKI Jakarta juga akan melakukan penonaktifan kepada warga ber-KTP DKI Jakarta yang tinggal di daerah lain.
Disdukcapil Provinsi DKI Jakarta memperkirakan terdapat ratusan ribu warga yang memiliki KTP DKI Jakarta tinggal di daerah lain. Ratusan ribu warga itu nantinya akan terdampak program penertiban administrasi kependudukan atau penonaktifan NIK.
Kepala Disdukcapil Provinsi DKI Jakarta Budi Awaluddin mengatakan, berdasarkan informasi dari Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang Selatan (Tangsel), ada sekitar 75 ribu warga ber-KTP DKI Jakarta tinggal di daerah itu. Puluhan ribu warga Jakarta itu disebut telah tinggal di Tangsel antara lima hingga 25 tahun.
"Kemarin (Pemkot) Depok statement-nya ada 18 ribu-an. Belum lagi yang lain. Kemungkinan bisa ratusan ribu," kata Budi di Jakarta, Rabu (25/4/204).
Budi menyatakan, warga ber-KTP DKI Jakarta yang tinggal luar itu mayoritas berada di kawasan Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Saat ini, Disdukcapil Provinsi DKI Jakarta masih terus berkoordinasi dengan daerah-daerah itu untuk melakukan pendataan.
"Kami sedang koordinasikan dengan daerah," kata Budi.
Sebelumnya, Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengemukakan bahwa penonaktifan NIK KTP Jakarta bagi warga yang tinggal di luar daerah merupakan upaya menegakkan aturan. Penegasan itu diutarakan Budi setelah kebijakan penertiban NIK menuai kritik dari mantan gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
"Sekali lagi, Pemda DKI hanya melaksanakan aturan yang sudah ada," kata Heru di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, Jumat (17/5/2024).
"Kalau warganya sudah tinggal di daerah lain, di luar Jakarta, maka rumahnya dan alamatnya dipakai oleh orang yang tidak dikenal. "Banyak masukan dari tokoh masyarakat," katanya, menambahkan.
Selain itu, Heru menyebutkan pengusaha atau pemilik indekos yang mengeluh keberatan terhadap warga yang sudah pindah domisili dari Jakarta, tetapi KTP-nya masih di alamat yang lama. Lalu, ada juga warga yang sudah meninggal dunia tetapi tidak dilaporkan kabar kematiannya kepada perangkat setempat seperti RT dan RW.
"Yang terakhir, yang sangat perlu mendapatkan perhatian, jika seseorang itu kecelakaan, alamatnya berbeda, tempat RT-nya sudah tidak ada RT, tempat lokasi yang di alamat itu sudah tidak ada bangunan rumah, kemana kita mau memberitahu keluarga? Dan itu terjadi," kata Heru.
Karena itu, Heru menegaskan pentingnya ketertiban terkait administrasi penduduk dari sisi keamanan ataupun administrasi perbankan.
Sebelumnya, Ahok mengkritik rencana Pemprov DKI soal penonaktifan NIK KTP warga Jakarta yang tinggal di luar daerah. Menurut Ahok, warga yang menjadi sasaran penonaktifan NIK akan repot mengurus administrasi kependudukan. Apalagi hal ini bisa memunculkan adanya oknum dari pengurusan dokumen tersebut.
"Bagi saya, itu bukan suatu hal yang sangat penting. Jadi, jangan merepotkan orang lah," kata Ahok di akun media sosialnya.