Netanyahu Gelar Rapat Darurat Usai Putusan ICJ Perintahkan Israel Setop Serangan ke Rafah
Lebih dari 800 ribu orang telah meninggalkan Rafah akibat invasi darat Israel.
REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengadakan rembuk telepon darurat dengan para menteri utama dan jaksa agung, menyusul putusan Mahkamah Internasional (ICJ) untuk Israel menghentikan operasinya di Rafah, menurut laporan media setempat, Jumat (24/5/2025). Agenda rembuk tersebut akan dimulai pada pukul 17.00 waktu setempat, menurut laporan portal berita Israel, Ynet.
Dalam laporan itu juga disebutkan bahwa Menteri Kehakiman Yariv Levin, Menteri Pertahanan Yoav Gallant, Menteri Luar Negeri Katz, Ketua Dewan Keamanan Nasional Tzachi Hanegbi, dan Jaksa Agung Gali Baharav-Miara akan mengikuti rembuk. Mahkamah Internasional pada Jumat memerintahkan Israel untuk segera menghentikan serangan militernya di Rafah, kota di Jalur Gaza selatan.
"Israel harus segera menghentikan serangan militernya atau tindakan lain apa pun di wilayah Rafah yang dapat berdampak pada kelompok Palestina di Gaza, kondisi kehidupan yang dapat menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau sebagian," kata Ketua Hakim Nawaf Salam.
Perintah tersebut dibacakan Salam atas tindakan sementara tambahan yang diminta Afrika Selatan dalam kasus genosida yang sedang berlangsung, terhadap Israel. Mahkamah Internasional mengatakan perubahan perintah dari yang dikeluarkan pada tanggal 28 Maret, mempertimbangkan perubahan keadaan akibat serangan di Rafah, tempat pengungsi Palestina berlindung dari perang.
Menurut badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, lebih dari 800 ribu orang telah meninggalkan kota tersebut akibat invasi darat. Keputusan tersebut mengatakan bahwa Israel belum cukup mengatasi dan menghilangkan kekhawatiran yang timbul akibat operasi militernya di Rafah.
Mahkamah Internasional juga meminta Israel menjaga perbatasan Rafah tetap terbuka untuk akses tanpa hambatan terhadap layanan dasar dan bantuan kemanusiaan ke Gaza. Mahkamah Internasional memerintahkan Tel Aviv untuk menyerahkan laporan tentang tindakan yang diambil berdasarkan perintah terbaru dalam waktu 1 bulan.
Sebelumnya sempat dilaporkan the Telegraph, Israel akan membatalkan rencananya melakukan serangan besar-besaran ke Rafah di Jalur Gaza dan memilih hanya melakukan serangan yang ditargetkan. Keputusan itu diambil setelah Tel Aviv melakukan pembicaraan dengan Amerika Serikat.
Laporan surat kabar Inggris itu mengutip seorang pejabat senior AS, yang pada Rabu (22/5/2024) mengatakan Israel telah mempertimbangkan kekhawatiran AS, yang sudah berminggu-minggu memperingatkan mereka agar tidak melakukan operasi besar-besaran di Rafah.
"Bisa dikatakan bahwa Israel telah memperbarui rencana mereka. Mereka telah memikirkan banyak kekhawatiran yang telah kami sampaikan.. Ini adalah diskusi dan percakapan yang sedang berlangsung. Ini konstruktif," kata sang pejabat.
Pejabat itu merujuk pernyataan itu pada pertemuan antara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih --kantor presiden AS-- Jake Sullivan di Yerusalem pekan lalu. Sullivan pada pekan lalu berkunjung ke Arab Saudi dan Israel. Selama lawatannya itu, ia melakukan pertemuan dengan Putra Mahkota dan Perdana Menteri Saudi Mohammed bin Salman bin Abdulaziz Al Saud dan pimpinan Israel.
Sebelumnya pada Mei, Departemen Pertahanan AS memastikan laporan media bahwa pemerintah Biden menangguhkan pengiriman bom seberat 1.800 - 2.000 pon dan bom seberat 500 - 1.700 pon ke Israel. Penangguhan itu dilakukan setelah Israel diduga memulai operasi militer terbatas di Rafah sambil mengumumkan rencananya untuk melanjutkan operasi darat besar-besaran di wilayah itu.
Pada awal Mei, Presiden AS Joe Biden dalam wawancara dengan CNN mengatakan bahwa Washington tidak akan memasok senjata ke Israel jika militer negara Yahudi itu menyerang Rafah. Pada 7 Mei dini hari, angkatan bersenjata Israel melancarkan serangan yang disebutnya sebagai "operasi melawan teroris" di Rafah timur dan menguasai sisi Gaza pada perlintasan perbatasan dengan Mesir.
Pada pekan itu, media Israel melaporkan bahwa kabinet militer Israel telah menyetujui perluasan operasi darat. Pihak berwenang Israel mengatakan operasi itu bertujuan untuk melenyapkan sisa batalion gerakan Palestina Hamas di Jalur Gaza.