Benarkah Imam Al-Ghazali Justru tak Berkontribusi Sama Sekali dalam Perang Salib?

Karya Imam al-Ghazali menginspirasi jihad melawan tentara Salib

google.com
Ilustrasi perang Salib. Karya Imam al-Ghazali menginspirasi jihad melawan tentara Salib
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Bangkitnya aspek politik satu bangsa atau peradaban tidak terlepas dari berbagai aspek kehidupan lainnya. 

Baca Juga


Perang Salib yang dimulai pada 1095 bisa dilihat sebagai kasus yang menarik. Perang ini dimulai dengan seruan Paus Urbanus II yang berhasil memprovokasi kaum Kristen Eropa untuk bersatu menyerang Islam. 

Seruan Paus cukup berhasil. Belum pernah dalam sejarahnya, Eropa Kristen bersatu padu dalam menghadapi Islam, kecuali dalam Perang Salib.

Karena itu, bisa dimaklumi, jika sukses provokasi Paus Urbanus, menjadi inspirasi bagi kelompok-kelompok Kristen fundamentalis di Amerika Serikat, seperti Billy Graham, untuk menggunakan istilah ''Crusade'' bagi gerakan Kristenisasi atau evangelisasi mereka. 

Sukses Nuruddin Zengi dalam membalik situasi Perang Salib 50 tahun kemudian, tidak terlepas dari peran seorang ulama bernama Syekh Ali al-Sulami dan Imam al-Ghazali. 

Posisi Imam al-Ghazali dalam Perang Salib sering disalahpahami, karena selama ini tidak diketahui karyanya tentang Perang Salib. 

Belakangan, posisinya menjadi jelas, setelah diterbitkannya Kitab al-Jihad karya Ali al-Sulami, imam di masjid Ummayyad, Damascus, dan tokoh perumus dan penggerak jihad melawan tentara Salib.

Dalam naskah Kitab yang diringkas oleh Niall Christie, al-Sulami banyak mengutip ucapan Imam al-Syafii dan al-Ghazali tentang jihad. 

Di antaranya, al-Ghazali menyatakan, bahwa jihad adalah fardhu kifayah. Jika satu kelompok yang berjuang melawan musuh sudah mencukupi, maka mereka dapat berjuang keras melawan musuh. 

Tetapi, jika kelompok itu lemah dan tidak memadai untuk menghadapi musuh dan menghapuskan kejahatannya, maka kewajiban jihad itu dibebankan kepada negara terdekat, seperti Suriah, misalnya. Jika musuh menyerang salah satu kota di Suriah, dan penduduk di kota itu tidak mencukupi untuk menghadapinya, maka adalah kewajiban bagi seluruh kota di Suriah untuk mengirimkan penduduknya untuk berperang melawan penjajah sampai jumlahnya memadai.

Penjelasan al-Ghazali yang dikutip Ali al-Sulami itu menunjukkan, posisi al-Ghazali dalam soal jihad melawan pasukan Salib sangatlah jelas. 

Al-Sulami tidak menyebutkan sumber kutipan ungkapan al-Ghazali tersebut. Al-Ghazali juga tidak menuliskan kutipan itu dalam Kitab Ihya'. Adalah sangat mungkin bahwa Ali al-Sulami, yang ketika itu menjadi imam di Masjid Umayyad di Damascus, menghadiri kuliah al-Ghazali di Masjid tersebut. 

Mengapa al-Ghazali tidak menjelaskan masalah jihad melawan Pasukan Salib dalam Ihya' Ulumuddin? Kitab Ihya' ditulis al-Ghazali dalam masa yang disebut oleh banyak penulis sebagai 'masa krisis' al-Ghazali (sekitar 1095-1097).

Dr Musthafa Abu-Sway menyebutkan, bahwa selama 'masa krisis', al-Ghazali menulis 28 buku. Diantaranya ialah: Ihya' Ulumuddin, Bidayatul Hidayah, al-Wajiz, Faisal al-Tafriqah bayn al-Islam wa al-Zandaqah, Nasihat al-Mulk, dan Talbis Iblis.

Dalam Ihya'-nya, al-Ghazali menjelaskan hampir seluruh aspek kehidupan manusia dalam perspektif Islam. Ia menulis begitu banyak topik, seperti masalah ilmu, ibadah, etika sosial, hal-hal yang merusak (al-muhlikat), dan juga yang menyelamatkan (al-munjiyat).

Dr Majid Irsan Kailani menjelaskan posisi pemikiran al-Ghazali dalam perjuangan kaum Muslim untuk merebut kembali Jerusalem melalui bukunya, Hakazha Zhahara Jaylu Shalahuddin wa Hakazha 'Adat al-Quds.

Dengan menganalisis Kitab Ihya', menurutnya, dapat disimpulkan bahwa buku ini disiapkan al-Ghazali untuk melakukan reformasi intelektual dan moral kaum Muslim dalam perspektif yang lebih luas dari sekedar masalah Perang Salib ketika itu. 

Teladan Imam Ghazali dalam tradisi ilmiah (ilustrasi), ilustrasi ulama - (republika)

sumber : Harian Republika
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler