Kabinet Perang Israel Retak, Benny Gantz akan Mundur dari Pemerintahan Netanyahu
Gantz mundur jika Netanyahu tidak punya rencana pemerintahan Gaza pascaperang.
REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Stasiun televisi Israel, Channel 12 melaporkan anggota kabinet perang Israel, Benny Gantz diperkirakan akan mengumumkan pengunduran dirinya dari pemerintah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu beberapa hari ke depan. Bulan lalu, Menteri Pertahanan Gantz memang telah mengancam dalam beberapa pekan kedepan ia akan mundur dari koalisi pemerintah Israel bila Netanyahu tidak memiliki rencana pemerintahan Gaza pasca-perang.
Dikutip dari Aljazirah, Rabu (30/5/2024) stasiun televisi Channel 12 juga mempublikasikan hasil jajak pendapat yang mengungkapkan untuk pertama kalinya pada tahun ini Netanyahu lebih disukai untuk menjadi perdana menteri dibandingkan Gantz.
Dikutip dari the Times of Israel jajak pendapat stasiun televisi Channel 12 juga menemukan dukungan terhadap Partai Likud yang dipimpin Netanyahu lebih tinggi dari Partai Persatuan Nasional yang dipimpin Gantz. The Times of Israel melaporkan hal mengindikasikan partai baru yang terdiri dari para mantan sekutu Netanyahu dapat meraih dua digit kursi parlemen, terutama dengan mengorbankan Partai Persatuan Nasional.
Hasil jajak pendapat itu mengungkapkan bila pemungutan suara digelar hari ini maka Partai Persatuan Nasional akan mendapat 25 dari 120 kursi di Knesset sementara Likud akan mendapatkan 21 kursi. Perbedaan empat kursi ini menunjukkan semakin menyempitnya persaingan dua partai.
Jajak pendapat bulan Desember lalu menunjukkan perbedaan antara dua partai mencapai 19 kursi. Sebanyak 37 kursi untuk Partai Persatuan Nasional dan 18 untuk Partai Likud.
Jajak pendapat stasiun televisi Channel 12 menunjukkan 36 persen responden lebih memilih Netanyahu sebagai perdana menteri dibandingkan Gantz. Sementara Gantz hanya mendapatkan 30 persen. Pada 18 Mei 2023 lalu Netanyahu mendapat 38 persen dukungan sementara Gantz 37 persen.
Gantz lebih unggul dibandingkan Netanyahu sejak serangan mendadak Hamas pada 7 Oktober lalu.
Pada pekan lalu, pemimpin oposisi Israel Yair Lapid mendesak Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk mengakui Palestina sebagai sebuah negara berdaulat dengan adanya kondisi dan jaminan tertentu. Lapid, ketua partai Yesh Atid yang berhaluan tengah, membuat pernyataan tersebut setelah Norwegia, Irlandia, dan Spanyol pada Rabu mengumumkan bahwa mereka mengakui Palestina sebagai negara mulai 28 Mei.
Lapid menyalahkan Menteri Keamanan Nasional Ben-Gvir yang mencegah Netanyahu untuk mengadopsi langkah tersebut, menurut laporan harian lokal Yedioth Ahronoth. Dia mengkritik ekstremis Ben-Gvir, yang “tidak mengizinkan” Netanyahu mengumumkan kesiapannya untuk mengakui Palestina sebagai sebuah negara, dan menggambarkan situasi saat ini sebagai “kegilaan yang kami alami.”
“Netanyahu harus menyatakan bahwa dalam kondisi tertentu dan jaminan khusus, dia bersedia menerima negara Palestina di masa depan yang ikut memerangi terorisme,” ujarnya, Rabu pekan lalu.
Namun, Lapid tidak menjelaskan secara rinci dalam konferensi pers mengenai kondisi dan jaminan tersebut, atau sifat kerja sama dari negara Palestina yang diusulkan.
"Ini tidak akan terjadi dengan pemerintahan ini. Kita perlu menggantikan (pemerintahan Netanyahu) dan membentuk pemerintahan yang efektif,” tegas Lapid.
Sejak 2022, Israel telah diatur oleh koalisi sayap kanan pimpinan Netanyahu, yang menolak keras ide pembentukan negara Palestina. Namun, pengumuman dari tiga negara Eropa tersebut ternyata selaras dengan pernyataan kepala kebijakan luar negeri UE Josep Borrell pada X, yang bersumpah akan "bekerja tanpa henti" untuk mempromosikan posisi bersama UE mengenai solusi dua negara, dan adanya peningkatan tekanan terhadap Israel untuk menerima hak-hak Palestina dan mengakhiri serangan yang sedang berlangsung di Jalur Gaza.
Pengumuman oleh tiga negara Eropa muncul ketika Israel terus melanjutkan serangan brutalnya di Jalur Gaza sejak 7 Oktober, meskipun resolusi Dewan Keamanan PBB menyerukan gencatan senjata segera. Palestina sudah diakui oleh delapan negara Eropa yaitu Bulgaria, Polandia, Republik Ceska, Rumania, Slovakia, Hongaria, Swedia, dan pemerintahan Siprus Yunani.