Din Syamsuddin Tanggapi Wacana Konsesi Tambang untuk Ormas

Tokoh Muhammadiyah ini ingatkan soal perubahan-iklim terkait konsesi tambang.

dok Muhammadiyah
Cendekiawan muslim Prof. Din Syamsuddin
Rep: Fuji Eka Permana Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cendekiawan Muslim Prof Din Syamsuddin menanggapi kebijakan pemerintah yang membuka peluang untuk organisasi-organisasi masyarakat (ormas) keagamaan mengelola usaha pertambangan batu bara. Menurut ketua umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah periode 2005-2015 itu, keputusan pemerintah tersebut di satu sisi dapat dinilai positif, yakni sebagai wujud perhatian negara terhadap peran ormas.

Baca Juga


Din menuturkan pengalamannya ketika diminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadi Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antar Agama dan Peradaban. Sempat menolak tawaran itu sebanyak dua kali, ia mengaku sampai mempersyaratkan agar Kepala Negara serius menanggulangi ketidakadilan ekonomi di Tanah Air.

Waktu itu, Presiden Jokowi menjawab bahwa hal itu tidaklah mudah. Namun, lanjut Din, dirinya memandang perkara tersebut tidaklah sukar, asalkan ada kehendak politik (political will).

"Yang saya mintakan hanya pemerintah melakukan aksi keberpihakan (affirmative actions) dengan menciptakan keadilan ekonomi dan tidak hanya memberi konsesi kepada pihak tertentu. Juga, agar mau menaikkan derajat satu atau dua pengusaha Muslim menjadi setara dengan taipan," ujar Prof Din Syamsuddin melalui pesan tertulis yang diterima Republika, Selasa (4/6/2024).

Din mengaku, peristiwa itulah yang menjadi alasan dirinya mundur dari jabatan Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antar Agama dan Peradaban. Maka ketika kini muncul kebijakan penawaran konsensi tambang untuk ormas-ormas keagamaan, menurut dia, hal itu sangat terlambat dan terkesan memiliki motif untuk "mengambil hati."

Seandainya konsesi mengelola usaha pertambangan batu bara diberikan kepada--katakanlah--Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), hal itu tetap tidak seimbang dengan jasa dan peran kedua ormas Islam tersebut. Demikian pula, menurut Din, ketimpangan akan tetap ada, yakni bila dibandingkan dengan besarnya pemberian konsesi kepada perusahan-perusahaan yang dimiliki segelintir golongan atau individu di Indonesia.

Din mengatakan, perusahaan seperti Sinarmas menguasai lahan (walau bukan semuanya tambang batu bara) seluas sekitar 5 juta hektare. Bahkan, secara keseluruhan dunia pertambangan mineral dan batu bara Indonesia dikuasai oleh beberapa perusahaan saja.

"Sumber daya alam Indonesia sungguh dijarah secara serakah oleh segelintir orang yang patut diduga berkolusi dengan pejabat," kata Din menegaskan.

 

Terkait soal perubahaan iklim?

 

Hal lain yang disoroti Din Syamsuddin adalah perluasan pemberian izin tambang batu bara dilakukan di tengah protes global terhadap korporasi-korporasi yang mengeruk bumi untuk mendapatkan energi fosil (fossil fuels). Seperti diketahui, penggunaan fossil fuels secara masif menjadi salah satu penyebab perubahan iklim dan pemanasan global.

Sebagai seorang tokoh Indonesia yang aktif dalam upaya-upaya global menanggulangi perubahan ikllim, Din mengingatkan bahwa ada komitmen mondial untuk mengurangi atau bahkan meniadakan energi fosil. Jadi, menurut dia, ada kemungkinan besar bahwa yang akan diberikan kepada ormas-ormas keagamaan adalah "sisa-sisa" dari kekayaan negara.

"Silakan bandingkan dengan lahan yang dikuasai oleh para pengusaha," ucapnya.

Mengutip para pakar minerba, sistem tata kelola tambang dengan menggunakan skema izin usaha pertambangan (IUP) dan Kontrak Karya adalah warisan dari zaman kolonial. Ini tak jauh berbeda dengan semangat Undang-Undang Pertambangan Hindia Belanda (Indische Mijnwet). Ironisnya, beleid penjajah itu justru dilanggengkan dengan Undang-Undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009 dan Undang-Undang Minerba Nomor 3 Tahun 2020.

Belum lagi pelbagai isu bahwa sistem IUP selama bertahun-tahun disalahgunakan oleh oknum-oknum pejabat negara di berbagai jenjang; mulai dari direktorat jenderal, provinsi, hingga kota/kabupaten. Wewenang pemberian IUP rentan menjadi sumber korupsi.

"Jika ormas keagamaan masuk ke dalam lingkaran setan kemungkaran struktural tersebut, maka siapa lagi yang diharapkan memberi solusi?" kata tokoh Muhammadiyah itu, retoris.

"Yang perlu dilakukan pemerintah adalah aksi afirmatif, yakni dengan menyilakan penguasaha besar maju, tetapi rakyat kebanyakan diberdayakan, bukan diperdayakan," sambung dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler