Kisah Bank Persyarikatan dan Alih Dana PP Muhammadiyah
PP Muhammadiyah sempat berikhtiar mendirikan bank untuk memfasilitasi amal usahanya.
REPUBLIKA.CO.ID, “Pada masa silam, persyarikatan pernah mencoba meretas usaha ekonomi. Kita akuisisi sebuah bank dengan proses kurang teliti. Ternyata, bank yang kita akuisisi lewat pembagian saham baru yang bernama Bank Persyarikatan Indonesia (BPI) menjadi bank bermasalah. Hampir saja bank bermasalah itu menyeret Muhammadiyah ke persoalan berat, tapi Allah masih berkenan menolong Muhammadiyah sehingga kita lolos dari kemelut.”
Demikian tulis ketua umum PP Muhammadiyah periode 1995-1998 Amien Rais di Harian Republika edisi 5 Agustus 2015. Di tengah isu penarikan besar-besaran dana Muhammadiyah dari BSI, ikhtiar yang jadi bagian upaya Muhammadiyah memajukan perekonomian umat itu mengemuka lagi.
Alkisah, pada Januari 2002, ketua umum PP Muhammadiyah kala itu, Din Syamsuddin, membuat pengumuman penting. PP Muhammadiyah berinisiatif mendirikan lembaga keuangan berupa bank persyarikatan. Bank Persyarikatan ini merupakan hasil akuisisi terhadap Bank Swansarindo yang dikenal sebagai bank yang berbasis penyaluran kredit di sektor properti.
"Dapat dikatakan ini adalah bank yang memiliki hubungan dekat dengan Muhammadiyah," ucap Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin dalam acara soft launching Bank Persyarikatan kala itu. "Nantinya, sesuai dengan aspirasi warga Muhammadiyah bisa dikonversi ke sistem perbankan syariah. Tapi prosesnya membutuhkan waktu yang tidak sebentar," kata Din. Bank ini diharapkan dapat membantu warga Muhammadiyah dalam menyimpan dananya sekaligus menyalurkannya dalam bentuk kredit usaha, kepemilikan kendaraan bermotor, dan perumahan.
"Kita berusaha untuk membentuk bank untuk memberdayakan ekonomi umat yang potensinya masih sangat besar. Kita harapkan dengan adanya bank ini warga Muhammadiyah dapat terbantu," ujar Din.
Prospek bank yang bernaung di bawah PP Muhammadiyah ini dilihat Din sangat menjanjikan. "Arus dana yang beredar miliaran rupiah di warga Muhammadiyah. Potensi ekonomi warga kami masih besar," kata dia. Din mengatakan berbagai institusi Muhammadiyah lainnya seperti rumah sakit dan perguruan tinggi akan diintegrasikan untuk menyokong usaha di bidang perbankan ini. "Saya kira ini dapat menjadi faktor pendukung bangkitnya ekonomi umat Islam," imbuhnya.
Dalam perjalanannya, upaya ini nyatanya tak mulus. Pada Mei 2004, Pemilik Bank Persyarikatan Indonesia (BPI) diminta untuk menambah modal atau mencari investor baru bagi banknya. Bila dalam beberapa hari ke depan pemegang saham tidak mampu mewujudkannya, Bank Indonesia akan memasukkan bank ini ke dalam pengawasan khusus.
Bank Persyarikatan diminta untuk menambah modalnya terkait dengan penyaluran kredit bermasalahnya kepada salah seorang pemegang sahamnya. Kredit yang jumlahnya tak lebih dari Rp 50 miliar tersebut kala itu belum jelas pengembaliannya. Ancaman dari BI, bila Bank Persyarikatan tak mampu menyehatkan kembali banknya dalam waktu dua kali tiga bulan maka bank itu bisa dicabut izin usahanya.
Pada Mei itu juga, persoalan yang menimpa Bank Persyarikatan membuat PP Muhammadiyah sebagai pemegang saham terbanyak memberhentikan jajaran direksi. Din Syamsuddin mengatakan, keputusan itu berdasarkan laporan hasil pemeriksaan Bank Indonesia (BI), direksi dan komisaris lama BPI dinilai telah banyak melaksanakan hal-hal yang tidak memenuhi aspek kepatuhan dan 'human capital' sehingga Muhammadiyah perlu melakukan langkah-langkah penyelamatan sebagai bentuk tanggung jawab moral.
Sebagai upaya penyelamatan, PBI kemudian merencanakan pembentukan unit usaha mulai Januari 2005 dengan mendirikan lima kantor cabang syariah di beberapa daerah. BPI kala itu mengeklaim mendapatkan investor baru dari Malaysia. Modal yang diberikan investor itu sebagian besar juga akan dialokasikan untuk pengembangan layanan syariah.
Pendirian unit syariah kala itu untuk menyelaraskan kegiatan usaha BPI dengan unit-unit usaha di Muhammadiyah. BPI ingin dikembangkan sebagai bank yang melayani kepentingan umum, khususnya unit-unit usaha Muhammadiyah.
Bagaimanapun, pada 20 Desember 2004, BPI tetap masuk ke dalam pengawasan khusus (special surveillance unit atau SSU) Bank Indonesia. Saat itu dana Rp 30 miliar dari Rp 100 miliar investasi yang dijanjikan investor Malaysia AA Corporation belum berhasil menyelamatkan bank itu dari kesulitan modal. Sementara rencana investasi dari Bukopin yang santer kabarnya saat itu belum terwujud.
Baru pada Maret 2005, Bank Bukopin bersama empat investor lain tampil sebagai penyelamat bagi Bank Persyarikatan Indonesia, setelah mengucurkan dana senilai Rp 190-Rp 220 miliar. Langkah itu diumumkan politikus PAN Dradjad Wibowo yang saat itu merupakan anggota Komisi XI DPR RI, Dradjad Wibowo.
Drajad menambahkan, bila telah mendapatkan suntikan modal, dia meminta agar Bank Persyarikatan segera mengembalikan setoran dana dari Muhammadiyah sebesar Rp 13 miliar. ''Pada prinsipnya, jangan sampai Muhammadiyah dibebani,'' ujarnya.
Hingga akhirnya pada 6 MAret 2008, Rapat Umum Pemegang Saham Bank Persyarikatan Indonesia (RUPS BPI) menyetujui perubahan Anggaran Dasar (AD) bank umum konvensional (BUK) itu. Salah satu yang disetujui adalah konversi BPI menjadi bank umum syariah (BUS) dan berubah nama menjadi Bank Syariah Bukopin.
Dengan demikian, saat itu Bank Syariah Bukopin menjadi BUS keempat di Indonesia setelah Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank Syariah Mandiri (BSM), dan Bank Mega Syariah (BMS). BPI resmi diakuisisi Bukopin dengan menginjeksi modal senilai Rp 100 miliar. Kemudian, BPI dikonversi dan berubah nama menjadi Bank Syariah Bukopin.
Bank Syariah Bukopin ini jugalah yang nanti kabarnya menerima pengalihan dana PP Muhammadiyah dari BSI. Dengan kabar Rp 15 triliun dana yang bakal dipindahkan dari BSI ke sejumlah bank syariah lainnya, nilai itu tentu sudah berlipat ganda dari injeksi modal yang dilakukan Bank Bukopin ke BPI dulu.
Mengapa PP Muhammadiyah memindahkan dana... baca di halaman selanjutnya
Ketua PP Muhammadiyah Bidang Ekonomi, Bisnis, dan Industri Halal Anwar Abbas mengatakan bahwa porsi penempatan dana Muhammadiyah terlalu terkonsentrasi di BSI, sementara penempatan dana di bank-bank syariah lain masih sedikit. Hal itu secara bisnis dapat menimbulkan risiko konsentrasi (concentration risk).
“Sehingga bank-bank syariah lain tersebut tidak bisa berkompetisi dengan margin yang ditawarkan oleh BSI, baik dalam hal yang berhubungan dengan penempatan dana maupun pembiayaan. Bila hal ini terus berlangsung, maka tentu persaingan di antara perbankan syariah yang ada tidak akan sehat dan itu tentu jelas tidak kita inginkan,” kata Anwar dalam keterangan tertulis, Rabu.
Anwar menegaskan, Muhammadiyah memiliki komitmen yang tinggi untuk mendukung perbankan syariah. Oleh sebab itu, Muhammadiyah terus melakukan rasionalisasi dan konsolidasi terhadap masalah keuangannya.
Dengan begitu, Muhammadiyah bisa berkontribusi bagi terciptanya persaingan yang sehat di antara perbankan syariah yang ada, terutama ketika dunia perbankan syariah tersebut berhubungan dengan Muhammadiyah.
“Untuk itu Muhammadiyah merasa perlu menata banyak hal tentang masalah keuangannya termasuk dalam hal yang terkait dengan dunia perbankan terutama menyangkut tentang penempatan dana dan juga pembiayaan yang diterimanya,” kata Anwar.
Sebelumnya dikabarkan bahwa Muhammadiyah memutuskan untuk mengalihkan dananya dari BSI ke beberapa bank syariah lain. Hal itu sebagaimana tertuang dalam Memo Muhammadiyah Nomor 320/1.0/A/2024 tentang Konsolidasi Dana yang dikeluarkan pada 30 Mei 2024.
Pada Rabu, BSI juga telah menanggapi pemberitaan tersebut. Corporate Secretary BSI Wisnu Sunandar mengatakan bahwa BSI senantiasa berkomitmen memenuhi ekspektasi seluruh pemangku kepentingan dengan menerapkan prinsip adil, seimbang, dan bermanfaat (maslahat) sesuai syariat Islam. Perseroan juga akan terus berusaha memberikan pelayanan terbaik dan berkontribusi dalam pengembangan ekonomi syariah di Indonesia.
"Terkait pengalihan dana oleh PP Muhammadiyah, BSI berkomitmen untuk terus menjadi mitra strategis dan siap berkolaborasi dengan seluruh stakeholder dalam upaya mengembangkan berbagai sektor ekonomi umat. Terlebih bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang merupakan tulang punggung ekonomi bangsa,” kata Wisnu dalam keterangan terpisah.
Wisnu menambahkan, BSI juga terus berkomitmen menjadi lembaga perbankan yang melayani segala lini masyarakat, baik institusi maupun perorangan, untuk meningkatkan inklusi dan penetrasi keuangan syariah. BSI, imbuh dia, berupaya menjadi bank yang modern serta inklusif dalam memberikan pelayanan kepada seluruh masyarakat, dengan tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip syariah.